Ramli
Pengurus LPMH-UH Periode 2014-2015
Revolusi terjadi lima abad lalu. Berawal dari sedikit demi sedikit perubahan nilai norma, menumpuk, mengakibatkan tatanan kehidupan berubah drastis. Tak pernah dibayangkan para pejuang kesetaraan gender masa silam, kalau relasi pria dan wanita akan terputus. Tak lagi saling membutuhkan, tetapi bersaing membuktikan gender mereka yang terhebat. Sejarah mengabadikan pertentangannya.
Kerajaan Mondai berdiri kokoh di bagian Selatan bumi. Dihuni manusia jenis kelamin wanita. Penggagasnya adalah para pentolan feminisme radikal dari generasi sebelumnya. Pria menurut pandangan kaum Mondai hanya penyiksa kejam. Fungsi kerja tanpa pria diatasi dengan penentuan profesi penduduk oleh kerajaan berdasarkan hasil tes potensi. Panduduk pun dilahirkan dari rahim perempuan yang ditetapkan profesinya sebagai pengandung. Dengan kecanggihan teknologi, bayi perempuan dipastikan terbentuk dari pertemuan sel telur pengandung dan sperma sintetis. Tak ada cita-cita dalam kehidupan ini. Mau jadi apa? Ratulah yang menentukan.
Di balik tembok pemisah setinggi lima puluh meter, berdiri Kerajaan Bandrai di bagian Utara bumi. Penghuninya khusus pria. Perihal nasib hidup dan kehidupan penduduk, ada di jari telunjuk sang raja. Untuk mengatasi keterbatasan pria, kecanggihan teknologi mengatasinya. Termasuk dalam menciptakan pria baru, melalui rekayasa sel telur dan pembuahan tanpa Rahim. Pandangan hidup bahwa perempuan adalah makhluk lemah, menjadi alasan leluhur Bandrai membuat kesepakatan dengan leluhur Mondai untuk berpisah. Bagi mereka, perempuan hanya biang kemunduran peradaban. Generasi selanjutnya pun belajar dari sejarah leluhur mereka, para maskulinisme radikal.
Awalnya, kedua kerajaan makmur dan tidak saling mengusik. Mereka menghormati leluhur mereka telah memperjanjikan tatanan hidup seperti ini. Namun bumi menjadi tidak menghidupi bagi penduduk Bandrai. Kerakusan dan egoisme individu telah mengakibatkan ketersedian pangan terancam ludes. Terpaksa, Raja Bandrai, Sandi, mengerahkan bala tentara untuk menyerang dan menjarah kawasan Mondai. Genderang tempur ditabuh. Tembok pemisah pun diruntuhkan. Namun mereka salah memahami bahwa penduduk Mondai lemah, sebagaimana sejarah mereka menuliskan. Perlawanan sengit mereka dapatkan. Pertempuran akhirnya terjadi di perbatasan berulang kali, dengan pemenang silih berganti.
Pertempuran berkepanjangan membuat kehancuran begi kedua kerajaan. Gugurnya banyak penduduk kedua pihak menimbulkan kekhawatiran, populasi manusia menghampiri kepunahan. Apalagi sejumlah teknologi kerajaan turut hancur, termasuk teknologi reproduksi. Hati nurani mereka menasehati, pertempuran harus diakhiri demi manusia.
Di balik ketakutan dan kehancuran akibat pertempuran, relasi penduduk kedua kerajaan dimulai, meski didasar kebencian. Sekitar lima abad mereka tak mengenal perbedaan gender. Stigma merendahkan gender lain akibat dongeng sejarah, menumpuk kebencian. Tapi keadaan terjadi berbeda. Pertempuran atas nama kerajaan ternyata menimbulkan relasi berbeda antarindividu akibat rasa ingin tahu antargender.
Pemimpin invasi, Bandi, anak angkat Raja Sandi, juga merasakan nuansa berbeda. Berawal ketika ia bersembunyi di rumah seorang wanita yang terpencil, saat menghindari kejaran polisi penjaga desa. Ia terpisah dari pasukannya. Wanita itu dapat saja melaporkan keberadaan Bandi yang pincang karena terluka, lalu pastilah ia mati dipenggal. Tapi bukannya melapor atau setidaknya membiarkan Bandi mati perlahan dan raib bersama erangannya, ramuan nan mujarab malah diberikannya kepada Bandi. Bandi mulai mengesankan penduduk Mondai punya belas kasih yang tinggi.
“Nama kamu siapa?” Tanya Bandi.
“Namaku Ainta. Ada urusan apa kalian masuk dan mengganggu kehidupan kami. Tidakkah kalian hormati kesepakatan leluhur kita dahulu?” Ia balas bertanya dengan gusar, karena sedari tadi diancam akan ditembak jika tak menurut. “Kami hidup damai di sini sebelum kalian masuk mengacau. Tak pernah kudegar suara setinggi suara mulutmu yang terkutuk. Aku mohon, tinggalkan wilayah kami!” Ainta mulai menitihkan air mata. Sesuatu yang sangat terlarang di Kerajaan Bandrai.
Sanubari Bandi tersentuh. Rasa bersalah menggerayanginya. Ia mengagumi ketulusan Ainta merahasiakan keberadaannya. Padahal jika ketahuan polisi, pastilah Ainta dipenggal dahulu, lalu dirinya. Sejujurnya, ia ingin membalas budi Ainta yang menolong dan memberinya kedamaian melebihi saat di asalnya. Di Bandrai acap kali terjadi kerusuhan, penjarahan, bahkan berujung pembunuhan.
Sudah enam hari berlalu, Bandi tak pernah melewatkan sore tanpa memandangi Ainta di balik jendela, saat sedang mengemas jemuran di halaman rumah, termasuk pakaiannya. Batas waktu enam hari dari Kerajaan Bandrai untuk kembali mambawa pasukan dan harta jarahan diabaikan Bandi. Ia ingin tinggal bersama Ainta dalam batas waktu tak tentu.
“Ainta, awas!” Hampir saja ia diterkam harimau andai Bandi tak menimpuknya dengan sebongkah batu dari balkon rumah.
Hanya sedetik dari teriakan itu, Ainta berpaling dan melihat harimau terkapar dua meter dari sampingnya. Tubuhnya menggigil, menyadari hampir saja ia mati diterkam harimau seperti adik angkatnya tiga tahun lalu. “Terima kasih,” ucapnya sambil menoleh kaku ke Bandi.
Lambat laun, mereka mulai memahami bahwa perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tetapi sebab saling membutuhkan dan memberikan pengorbanan. Ainta tak perlu lagi susah payah memecah kayu untuk pembakaran. Bandi pun tak perlu menghabiskan waktu lama untuk mengecap rasa makanan sudah enak atau belum. Mereka punya bakat bawaan.
Saling ketergantungan mereka berujung pada janji suci untuk hidup bersama. Keluarga kecil inilah cikal bakal Kerajaan Bamon. Pria dan wanita hidup berdampingan di sana. Istana kerajaan tepat di rumah Ainta. Sejumlah tentara Bandrai yang ikut menyerang ternyata mengalami peristiwa serupa. Mereka belakangan datang bersama pasangannya ke Kerajaan Bamon. Dibuatlah pranata pernikahan untuk meresmikan hubungan mereka sebagai keluarga. Seiring waktu, Kerajaan Bamon berkembang dengan peningkatan populasi, seiring pengetahuan dan kesadaran penduduk untuk menyalurkan hasrat bercinta. Mereka mengingkari titah leluhur.
***
Selang sepuluh tahun, Raja Sandi mengetahui perihal Kerajaan Bamon. Dia akhirnya menyurati Bandi untuk kembali pada aturan kerajaan, namun tak digubris. Ultimatum pun tidak dihiraukan. Akhirnya Raja Sandi memutuskan untuk membumihanguskan Bamon dengan seluruh penduduknya. Namun dua kali melakukan penyerangan, Bandrai menderita kekalahan akibat ampuhnya sistem pertahanan Bamon.
“Kami merasakan kehidupan seutuhnya di Bamon. Kebohongan sejarah yang memisahkan kaum kita dengan Mondai seharusnya diakhiri. Kami tidak akan mengusik kehidupan kerajaan lain. Saya harap Ayah menyadari bahwa manusia di bumi akan kuat jika kaum Bandrai dan Mondai disatukan. Kami kuat karena begitu, dan hanya begitu jua kerajaan kami dapat dikalahkan,” tulis Raja Bandi dalam surat untuk Raja Sandi.
Keputusan berat harus diambil Raja Sandi. Menghentikan pertempuran dengan Mondai, lalu bersatu menyerang Bamon. Terpaksa ia menjilat ludahnya sendiri karena keputusannya menyerang dan menjarah Mondai. Namun dengan permohonan maaf dan alasan Bamon telah menodai perjanjian suci leluhur kedua kerajaan, permintaan kerjasama pun diterima Ratu Shinta. Demi mengembalikan tatanan hidup, pembangunan kembali tembok pemisah yang disyaratkan Ratu Shinta disanggupi Raja Sandi.
***
“Keluar Kau anak durhaka,” seru Raja Sandi di halaman istana Bamon yang sederhana. Tidak lama berselang, keluarlah Raja Bandi bersama Ratu Ainta yang menggendong seorang bayi. “Terlaknak Kau. Beraninya kau melanggar aturan leluhur kita. Kau lebih baik mati!” serapahnya.
“Terima kasih telah memenuhi saranku datang bersama dalam perbedaan yang kalian pertentangkan tanpa berpikir. Silahkan bunuh Aku jika hati dan pikiran kalian kukuh mengikuti hukum bodoh yang memisahkan kita hanya karena perbedaan jenis kelamin. Haruskah kita melawan fitrah? Ini harus diakhiri,” balas Raja Bandi.
“Kau telah lancang berkata seperti itu. Apa yang meracuni pikiranmu? Terkutuk Kau,” geram Raja Sandi.
“Kebenaran yang telah meracuni pikiranku! Lihatlah diri kalian, datang bersama dengan damai. Lalu apa gunanya kita menumpuk benci dan curiga di balik tembok pemisah jika kita bisa hidup harmonis. Lihatlah, Aku telah memiliki anak kandung dari benihku dan rahim isteriku. Lihatlah penduduk Bamon, hidup berpasangan. Selama 10 tahun, kami saling mengasihi, jauh dari apa yang kalian takutkan. Sadarlah!” tegas Raja Bandi. “Kalau pun kalian tetap ingin membunuh kami, tak ada daya kami melawan. Ayah, aku pinta satu hal sebelum kami dipenggal, hiduplah secara membaur selama tiga bulan. Jika kalian menjalaninya tanpa kebahagiaan, kembalilah, biar kami yang memenggal kepala kami sendiri.”
Jauh dalam hati kecil Raja Sandi, dia masih menyayangi Raja Bandi. Ia bernegosiasi dengan dirinya sendiri.“Baik. Aku akan kembali menagih janjimu. Camkan itu!”
***
Batas waktu yang diperjanjikan jatuh tempo. Mereka kembali menemui Raja Bandi.
Hai Raja Bandi, keluarlah!” seru Raja Sandi.
Raja Bani dan penduduk Bamon yang sedari tadi menunggu pasukan kedua kerajaan, terkaget-kaget melihat bahwa hanya Ratu Shinta dan Raja Sandi yang datang. “Mana pasukan kalian,” tanya Raja Bandi.
“Kami datang ke sini bukan untuk mengadu kekuatan perang. Resmikanlah kami sebagai sebuah keluarga kecil,” pintanya. Sontak keheranan, keharuan, tepuk tangan, dan sorak kegembiraan menggema.
Setelah pernikahan Raja dan Ratu, ketiga kerajaan sepakat untuk menyatukan kembali kehidupan manusia di bumi. Laki-laki dan perempuan hidup berpasang sebagai keluarga dalam ikatan suci. Tatanan hidup telah berubah 180 derajat.
***
Detik berganti. Perlahan, tatanan kehidupan menuju perubahan baru yang lain. Terpisah begitu lama membuat hasrat bercinta penduduk bumi tak terkendali. Pranata pernikahan tidak lagi dianggap suci. Perselingkuhan dan perceraian terjadi di mana-mana. Anak hasil hubungan gelap, lahir sebagai ancaman bagi tatanan kehidupan manusia. Itulah yang terjadi.