Oleh : Liyana Zahirah*
Sewaktu kecil, aku pernah bermimpi ingin punya rumah besar. Di dalamnya ada kolam renang, ada tivi yang lebarnya seperti ruang tamu nenek, dan kamar yang ada pendinginnya. Kurang lebih seperti rumah, pak Kartono. Katanya, rumah pak Kartono ada kolam renangnya, juga ada kolam ikannya. Ia juga memiliki tivi yang sangat besar. Lebarnya seperti ruang tamu nenek. Selain itu, rumahnya juga dilengkapi pendingin ruangan. Ketika ke sana, kau tak akan gerah, justru menggigil walau bukan musim hujan. Setidaknya, itu yang dikatakan Leila setiap kali pulang dari rumah pak Kartono. Pak Kartono memang salah satu saudagar terkaya di kampung kami.
“Di rumah pak Kartono ada tivi besar, Mir. Siarannya bahasa inggris semua. Artisnya juga bule-bule.” Kata Leila, sahabat kecilku yang juga sebangku denganku. Leila memang selalu ke rumah pak Kartono. Katanya, bapaknya masih memiliki hubungan keluarga dengan, pak Kartono.
“Masa sih, Le?”
“Iya, Mir. Kalau mau, sepulang sekolah kita ke sana.”
“Aku tidak bisa, Le. Aku harus bantu nenek menjual.”
“Lain kali saja, kalau begitu.” Laila selalu menjawab penolakanku dengan senyum. Lalu pergi dan keesokan harinya kembali akan mengajakku lagi.
***
Sewaktu kecil, aku pernah bercita-cita ingin menjadi artis, seperti di ttivi yang kutonton. Katanya, gaji artis sangat tinggi. Bisa dipakai buat beli rumah yang besarnya seperti rumah, pak Kartono. Kalau aku jadi artis, nenek tidak perlu berjualan di pasar lagi, barang-barang nenek tidak perlu disita untuk bayar kontrakan lagi, nenek juga bisa menontonku di tivi yang lebarnya seperti ruang tamu nenek sekarang.
“Jadi artis itu enak, Mir. Tinggal bergaya depan kamera lalu dapat uang.” Kata pak Kartono suatu hari kepadaku.
“Jadi pak Kartono artis?”
“Bukan. Saya bosnya artis, Mir”
“Wah, jadi gajinya lebih banyak, dong?”
“Tentu saja. Kamu mau jadi artis, Mir? Leila sebentar lagi jadi artis, loh.”
“Aku tanya nenek dulu yah, pak.”
***
Sewaktu kecil nenek pernah melarangku menjadi artis. Nenek juga melarangku nonton tivi di rumah, pak Kartono. Aku juga dilarang dekat-dekat dengan, Leila. Dan lagi, nenek juga melarangku bermimpi terlalu tinggi untuk membeli rumah besar seperti rumah milik, pak Kartono.
“Nek, Mira mau jadi artis”
“Jadi artis apa, Mir?”
“Jadi artis kayak bule-bule di tivi, Nek. Katanya gajinya banyak. Bisa dipakai beli rumah dan beli tivi baru.”
“Huss… Jangan mimpi kamu, Mir. Jadi artis itu tidak gampang. Kita orang susah, mana bisa jadi artis. Kalau pun jadi artis, paling cuman jadi artis pembantu. Itu loh.. jadi piguran, kata orang. Hahaha..” Nenek tertawa lepas, seolah meragukan kemampuanku menjadi artis.
“Tapi kata pak Kartono, jadi artis gampang. Tinggal bergaya di depan kamera, saja. Leila sebentar lagi jadi artis loh, Nek” timpalku, tak mau kalah.
“Kamu hati-hati, Mir. Sekarang banyak penipuan. Sepulang sekolah, jangan singgah-singgah, jangan ikut-ikutan sama, Laila.”
***
Sewaktu kecil, aku pernah menjadi artis, seperti bule-bule di tivi-nya, pak Kartono. Seperti Laila, juga. Kami sama-sama menjadi artis. Aku dan Leila. Kadang-kadang teman-temanku juga ikut menjadi pemeran pembantu. Itu, loh.. pemeran piguran seperti yang nenek bilang. Aku, Leila, dan teman-temanku menjadi artis. Dan nenek tidak tahu kalau kami artis. Di rumah nenek tidak ada tivi yang besarnya seperti tivi, pak Kartono.
“Kamu mau jadi artis, Mir?”
“Iya, Le. Sebentar pulang sekolah kita ke rumahnya, pak Kartono. Yuk!”
“Oke!”
Sepulang sekolah, aku dan Leila ke rumah pak Kartono. Aku dan Leila mau menjadi artis. Pak Kartono menjadi bosnya artis. Aku dan Leila diajak menonton tivi yang lebarnya seperti ruang tamu, nenek. Ada artis bule-bule yang sedang menari. Mereka cantik-cantik, juga seksi-seksi.
Rumah pak Kartono sangat dingin, ada pendingin ruangannya. Aku dan Leila menonton banyak adegan dan gaya artis-artis di dalam kamar, pak Kartono. biar lebih santai, katanya. Aku dan Leila menurut saja. Karaeng kartono bosnya artis, berarti dia bosku dan bosnya Leila.
***
Sewaktu kecil, nenek pernah bercerita kalau dulunya, ibuku seorang artis. Nenek mengetahuinya setelah ibu mengandungku. Katanya, ibuku artis yang tidak terkenal. Barangkali sebab itu, nenek tak setuju kalau aku menjadi artis. Tapi aku sangat ingin mejadi artis sepert ibu, dulu. Karenanya, sepulang sekolah aku mampir ke rumah pak Kartono bersama Leila. Kami ingin menjadi artis, seperti bule-bule yang kutonton di tivi yang lebarnya seperti ruang tamu nenek di rumah, pak Kartono.
“Nah, kalian coba perhatikan gaya mereka” kata pak kartono suatu hari di rumahnya. Tepatnya di dalam kamarnya.
“Apa yang mereka lakukakan?” tanyaku suatu waktu kepada, Leila. Ia diam dan tak menghiraukanku. Wajahnya memerah, seperti sedang kepanasan. Pak Kartono hanya tersenyum.”
“Perhatikan saja, Mir.” pak Kartono menyela. Ia lalu merebahkan tubuhnya di ranjang. Tempatku dan Leila menonton. Pak Kartono lalu berbaring di paha, Leila.
“Kalian sudah siap menjadi artis?”
“Leila tak menjawab, hanya mengangguk. Wajahnya sedikit ragu-ragu. Aku juga tak menjawab, tak juga mengangguk.” Kami resmi menjadi artis. Aku dan Laila, juga pak Kartono.
***
Dulu, ibuku juga seorang artis. Dia tidak terkenal, nenek jarang melihatnya di tivi. Mungkin karena tivi nenek sangat kecil dan sering kesemutan. Tapi ibuku juga artis, seperti bule-bule di tivi-nya, pak Kartono. Tapi ibu tidak kaya. Tidak bisa membeli rumah besar yang ada kolam renangnya. Tidak bisa membeli tivi yang lebarnya seperti ruang tamu nenek. Mungkin karena ibu tidak terkenal.
Sekarang, aku sudah cukup besar. Aku pernah menjadi artis kecil bersama Leila. Artis yang tidak terkenal seperti, ibu. Leila juga tidak terkenal. Nenek tak tahu kalau aku pernah menjadi artis cilik-nya, pak Kartono. Mungkin karena nenek tidak punya tivi sekarang. Tivi kami disita pemilik kontrakan. Aku dan Leila tidak jadi beli rumah setelah menjadi artis. Pak Kartono ditangkap polisi sebelum sempat memberikan gaji pertama kami. Katanya, dia punya kelainan seksual.
***
Sewaktu kecil, aku pernah bermimpi ingin punya rumah besar yang di dalamnya ada kolam renangnya. Aku juga pernah ingin menjadi artis cilik biar bisa beli tivi yang lebarnya seperti ruang tamu, nenek. Aku dan Leila akhirnya menjadi artis cilik ketika duduk di bangku kelas enam SD. Kami, aku dan Leila bergaya seperti bule-bule yang kami tonton di tivi milik, pak Kartono.
Setelah bergaya ala artis, aku dan Leila kadang-kadang diberi uang jajan sepuluh ribu. Katanya, hanya gaji harian. Nanti kalau gaji bulanan lebih banyak lagi. Aku dan Leila pun sering mengajak teman-teman kami yang lain untuk menjadi artis.
Kadang-kadang, Leila dan pak Kartono menjadi pemeran utamanya. Lalu aku datang menjadi orang ketiga yang membahagiakan pak Kartono saat ia telah bosan bersama, Leila. Kadang-kadang pula, aku yang menjadi pemeran utama bersama, pak Kartono. Katanya, akting kami memuaskan.
Aku dan Leila sangat bangga menjadi artis, waktu kecil. Teman-temanku yang lain juga ikut-ikutn ingin menjadi artis. Rumah pak Kartono kadang-kadang ramai dipenuhi artis. Tapi tetap, aku dan Leila pemeran utamanya.
***
Suatu hari, ibu pernah ditawari menjadi artis. Dia tak mau. Tapi ibu juga punya impian untuk punya rumah besar. Ibu jenuh setap hari menemani nenek berjualan di pasar. Pak Kartono mengajak ibu bekerja di rumahnya. Di rumah pak Kartono, ibu menjadi artis.
Kadang-kadang, ibu menjadi seperti bule-bule di tivi yang, atau kadang-kadang seperti artis korea. Sampai akhirnya, ibu dipecat. Nenek tidak tahu kalau ibu kerja di rumah pak Kartono. Nenek juga tidak tahu kalau ibu artis. Tapi nenek tahu, kalau dia akan punya cucu. Aku tahu cerita itu setelah aku remaja. Setelah selesai menjadi artis cilik.
***
Suatu hari, kalau anakku sudah pintar bicara, aku akan melarangnya menjadi artis. Aku akan melarangnya bermimpi punya rumah yang di dalamnya ada kolam renang dan tivi yang siarannya dipenuhi bule-bule tak berbusana.
* Penulis adalah anggota Forum Lingkar Pena Sul-Sel