web analytics
header

Dendam Tulus

Ramli (Pengurus LPMH-UH)

Aku cemburu melihat teman sebayaku, tiap kali sang surya hampir sampai pada persembunyiannya di balik bukit. Mereka gembira bermain sepak bola di lapangan sekolah, sekitar 200 meter dari rumahku. Sedangkan aku hanya lalu-lalang di tebing samping lapangan setiap hari. Mendaki bukit untuk menuntun gerombolan kambing ke padang rumput, lalu menggiringnya kembali ke kandang kala sore. Akhirnya, sering semak belukar di tengah kebun kulewati daripada harus terhenti akibat pertanyaan para pemuda kampung. Benci sebenarnya kurasa, meski mereka hanya mengajakku mampir dan ikut bermain. Paling banternya, akan kubalas ajakan mereka dengan senyuman, meski di antara mereka ada juga yang usil. Setidaknya kuyakinkan mereka bahwa aku tak mengapa.

Memang sulit bagiku mencuri waktu untuk memanjakan diri. Hidupku hanya berjibaku, berlari mengejar matahari merayap dari Timur ke Barat. Fokusku memastikan semua agenda rutin terlaksana setiap hari. Setelah kambing terikat baik di pagi hari, akan kuhabiskan waktu berkomunikasi dengan patung pak tani di sawah. Di sana juga, kunikmati nada tak beraturan dengan satu tarikan tali kontrol. Ya, suara kaleng susu yang bergesekan. Sabar kunanti hingga mentari memerah, saat siulan burung pelahap bijian padi tak berisik lagi. Hingga akhirnya, aku harus mengarak kembali kambing ke kandangnya, tepat di belakang rumah tempat tinggalku. Kuhabiskan hariku seperti itu, hingga kusadar telah berumur 12 tahun. Setidaknya kutapaki bukit sejauh enam kilometer setiap harinya.

Sejujurnya, aku segan terhadap ibu dan ayahku. Selalu berusaha kutunaikan tugasku agar amarah mereka tak terpicu. Sebab, jika saja kulalaikan satu pekerjaanku dalam sehari, pasti kumenuai imbasnya. Pernah aku terpaksa tidur di beranda rumah, lalu kurela membius diri dimangsa nyamuk hutan. Pernah juga aku tak dapat jatah makan dalam sehari. Yang paling sering, pukulan rotan mememarkan betisku. Biasanya akibat kesalahanku, tak mengikat erat kambing hingga lepas dan menjamah tanaman sayur di kebun.

Yang tampak, keluargaku mapan. Ketika akhir pekan tiba, ayah, ibu dan kedua saudaraku akan beranjak ke kota dengan mobil mungil. si warna merah lebih sering berguna daripada yang biru, coklat, atau putih. Tapi jika di hari kantor dan sekolah, semua mobil akan keluar gudang, dibawa mereka, satu orang satu. Tapi meski begitu, tak kumengerti alasannya ayah dan ibu selalu berkilah jika aku merengek, ingin ikut sekolah bersama saudaraku. Biarlah, tak kusuka mengulang mempertanyakan itu dan membuat mereka marah. Aku akan merasa bersalah dan tak berguna jika mereka akhirnya membentak. Sudahlah, lebih baik kuurus gerombolan kambing yang tak tahu mengurus dirinya.

Apakah hidup ini tidak adil? Nampak aku diperlakukan berbeda daripada saudaraku. Entahlah, mungkin karena kaki kananku pincang. Mungkin juga karena aku tak seelok saudaraku. Di saat aku mulai menyadari nilai keindahan paras, betapa memang aku tak rupawan, sekeras apapun aku berdandan. Banyak codet di wajahku. Jelas, aku jauh berbeda dibanding adik dan kakakku yang berwajah mulus. Mereka tampak terawat, cantik. Entah bagaimana hingga akhirnya diriku seperti ini. Tak sedikitpun terekam di ingatanku, seperti apa jalannya hingga aku tak semenarik ini. Apakah saat kecil, ayah dan ibu pernah menghindarkanku bermain di kebun salak samping rumah? Yang jelas, kenangan kuukir saat ini lebih banyak tentang aku, kambing, dan kebun.

Sore ini, sebelum menuntun para kambing ke kandang, aku terpaksa mampir ke sebuah rumah panggung sederhana karena dahaga. Sebenarnya, baru seminggu aku tahu ada sosok nenek tua tinggal di atas bukit. Dia punya kehebatan luar biasa. Untuk menggapai rumahnya, butuh 15 menit menapaki tanjakan dari padang tempat kambing-kambing kuikat. Keramahannya membuatku suka mampir dan mengisahkan kehidupanku kepadanya, Nenek Minah. Dia begitu pengertian. Saking asyiknya berbincang, aku menghabiskan waktu hingga lupa perjalanannya pulangku ke rumah akan didahului gelap. Tapi tak kupeduli, yang kurasa bebanku semakin berkurang setelah bercerita dengannya, meski ceritaku membuatnya geram. Tapi anehnya, di sore ini dia berpesan kepadaku agar iklas menerima hukuman jika sampai di rumah nanti.

“Hidup yang kau jalani tidak adil Nak!” tutur nenek berpostur jongkok itu, dengan rambut yang tak sehelai pun berwarna hitam.

***

“Ardi, buka pintunya! Anak jalang….!” teriak Pak Cipto dari dalam rumah.

Pak Cipto baru menyadari, semalam kunci rumah ia titipkan pada si Anak tak terurus itu, Ardi. Ia dapat hukuman karena pulang gelap bersama kambing-kambing. Ia pun sudah mewanti, jika pagi menjelang, si anak kumal itu harus membangunkan mereka agar tak telat sampai di kantor. Jika lalai,  pasti dia merasakan hukuman. Maklum, Pak Cipto dan istrinya bekerja sebagai pegawai negeri.

Suara satu keluarga itu menggelegar di udara. Tak ada pertolongan, sedangkan api terus merayap menghanguskan. Dari kejauhan, terlihat gumpalan putih tepat di atas atap rumah. Ardi yang tidur pulas di beranda rumah, tak sedikit pun terusik. Tak ada juga tetangga yang diharapkan membantu. Ya, keluarga ini memang tidak suka hidup bertetangga, sehingga membangun rumah di daerah terpencil. Baru sejauh dua kilometer, perkampungan didapati. Di persimpangan hanya ada rumah penjaga sawah yang kosong di malam hari.

Sudah terlambat. Warga desa baru berdatangan setelah rumah dan isinya habis dilalap api, di saat subuh. Ardi pun bergegas ketika tersadar, menyaksikan ayah dan ibunya, serta dua saudarinya hangus terbakar. Ia hanya tertegun, menyadari segalanya berubah drastis, seperti mimpi. Meski menyimpan tanya atas perlakuan yang dialaminya, rasa iba menggugahnya batinnya.

“Tuhan, maafkan aku. Tak sepantasnya mereka dapat balasan seberat ini,” insafnya dalam sukma.

Sepeninggal orang tuanya, Ardi tak perlu bingung mencari tempat berteduh dari kerasnya alam. Ia bersyukur mengenal Nenek Minah yang begitu pengertian dan tak akan menolaknya jika meminta menumpang. Meski banyak warga kampung menawarinya untuk hidup bersama, ia tetap memilih tinggal bersama Nenek Minah, walau harus mendaki bukit. Terlebih, rasa penasaran melandanya. Ia merasa Nenek Minah punya firasat tentang peristiwa ini, apalagi pesan dan sumpah Nenek Minah di suatu sore.

“Nak Ardi, tinggallah di rumah saya. Jangan khawatir, aku akan memenuhi kebutuhanmu dan menyayangimu,” pinta seorang warga desa.

“Tidak usah. Terima kasih. Biarkan saya tinggal di…,” ia baru ingat permintaan Nenek Minah untuk merahasiakan keberadaannya. “Saya di sini saja maksud saya Pak,” balasnya.

Meski banyak bujukan, Ardi tetap memilih menghabiskan sisa malamnya di beranda bambu. Warga desa pun meninggalkan ia yang nampak merenung, hanya tunduk terdiam.

Di saat pagi menjelang, persiapan penguburan Pak Cipto dan sekeluarga dilakukan. Warga desa pun dilanda kebingungan, Ardi Menghilang. Tak ada jejak yang dapat ditelusuri untuk melacak keberadaannya. Terlebih, dia tak punya teman sepermainan yang tahu tempatnya menghabiskan waktu. Sepengetahuan warga, Ardi yang tertutup hanya manghabiskan waktu menelusuri jalan dan berdiam di rumah orang tuanya atau di bukit. Tapi meski bukit disasar, hingga gelap malam, tak juga ada kabar tentang keberadaan Ardi. Ia benar-benar menghilang.

***

Ardi tiba di rumah Nenek Minah pagi sekali. Suasananya asri dan wangi seperti biasa. Namun ia tidak lagi menghiraukan dan menikmati suasananya. Ia bergegas menaiki rumah yang terbuat dari anyaman bambu itu. Ia tak sabar menagih penjelasan atas apa yang terjadi. Ia menerka, kebakaran semalam ada campur tangan Nenek Minah.

“Nek, jelaskan kepadaku. Apakah kematian ayah, ibu, dan saudaraku dalam kobaran api semalam atas perbuatan nenek?” Nenek Minah hanya tertunduk melipat daun sirih yang diisi kapur. Ia sepertinya tak menggubris. “Nek, aku tak pernah meminta ini terjadi. Aku hanya ingin diperlakukan adil seperti saudaraku. Tapi kenapa nenek melakukan ini?” tuntutnya sambil terisak.

Nenek Minah pun berbalik. Menyengir hingga nampak barisan giginya yang merah kehitaman akibat keseringan mengunyah daun sirih. “Sudahlah Nak. Itu balasan dari Tuhan untuk mereka. Jika saja kau tahu kisahmu, mungkin kau akan meminta balasan yang lebih berat dari itu,” balasnya.

“Nenek sudah salah memahami. Mungkin nenek mengira aku murka pada mereka. Tidak nek! Aku hanya ingin diperlakukan seperti anak seusiaku. Tapi kenapa nenek membunuh mereka?”

“Huh, syukurlah kau tidak main dengan temanmu di sore hari, hingga kau sering berkunjung ke sini. Orang di kampung tak satu pun tahu tentang kisahmu. Mereka tidak akan peduli.” Balasnya. “Terpaksa aku jelaskan kepadamu Nak. Aku tak ingin kau tangisi seseorang yang seharunya kau laknat. Bersediakah kau mengetahui yang sesungguhnya?” Ardi hanya menganggukkan. “Dulu, Ibumu adalah wanita yang sangat cantik. Raut wajahmu persis dengan ibumu Nak.  Dia idaman pemuda kampung. Sampai suatu ketika dia dituduh hamil di luar nikah akibat selingkuh dengan suami orang lain. Ia pun dituduh membunuh suaminya sendiri. Fitnah yang sangat keji! Akhirnya, pemuda desa pun berniat membunuhnya. Ia pun berhasil mendaki bukit hingga sampai ke sini. Akulah yang membantunya bersalin hingga ia melahirkanmu Nak. Ya, kamu anak dari wanita malang itu. Aku pun membawamu ke rumah orang yang kau panggil ayah sekarang, hingga kau pun tumbuh seperti sekarang. Ibumu berpesan kepadaku untuk menitipkanmu ke rumah Pak Cipto. Sekadar berharap ia memeliharamu dengan baik, akan jadi alasan ibumu memaafkannya. Jika memperlakukanmu sebaliknya, ia ingin dendamnya terbalaskan atas peranmu juga. Kau pasti ingat, ketika di sore hari kau menceritakan kehidupanmu kepadaku. Telah kupesan kepadamu untuk iklas menerima hukuman, tidak tidur dalam rumah di malam itu, dan memegang kunci rumah seperti biasa,” jelasnya.

“Lalu kenapa mereka harus Nenek bunuh. Bukankah mereka yang membesarkan aku?”

“Kau belum tahu Nak, Pak Cipto adalah orang yang membunuh ayahmu yang sesungguhnya, dan menggauli ibumu semasih mengandungmu. Dia bukan ayahmu!” jelasnya dengan lantang.

Suasana sontak hening. Ardi hanya terdiam. Ia akhirnya merelakan benih dendamnya tumbuh dan memuncak. Disadarinya, memang tak ada alasan untuk memaafkan Pak Cipto sekeluarga. Jika pun bisa, ia ingin sekali menghidupkan mereka kembali. Sekadar mengajari mereka, bagaimana panas ubun-ubun kepala diterpa terik mentari di tengah hari, bagaimana perihnya membasuh luka memar dan goresan pukulan rotan, betapa sakitnya serpihan duri yang bersarang di telapak kaki hingga bisul benanah, juga betapa sedihnya hidup tanpa kasih sayang orang tua. Setelah puas membalas, mereka akan dibunuhnya kembali. imajinasinya menjalar tentang cara balas dendam yang lebih keji dari yang dialami Pak Cipto semalam. Tapi akal sehat dan nuraninya kembali menenangkan bahwa segalanya telah terjadi. Entahlah, seiring hari berganti, dapatkah ia berdamai dengan dendamnya sendiri.

“Lalu kenapa Nenek tidak memeliharaku saja waktu itu?” tanya Ardi yang masih menunduk sambil terjongkok.

“Aku hanya penjaga hutan bukit ini. Perantara antara kau dan ibumu,” balasnya.

Ardi berniat memperjelas jawaban Nenek Minah. Hingga ia pun tersadar, di sore hari yang hampir gelap, ia bersandar di sebuah nisan, berada tepat di atas kuburan Ibunya.

Related posts:

SIAL!

Penulis: Jellian (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Remang lampu Kafe tidak lantas membuat perempuan muda itu mengantuk, tugas kuliah yang diberikan

Koridor Lima

Penulis: El “Dek…” Pria dengan jaket parasut hijau berlogo aplikasi transportasi online itu menggoyangkan pelan bahu perempuan di sampingnya, lebih

Sumber: Claudio Schwars di Unsplash

“So? What About Us?”

“Michael, I could handle it, I could fight for it, there’s only one question left, do you want to fight for us or not?”