web analytics
header

Setengah Hati Melawan

indah-luv
sumber: Viva.co.id

Dewan Pers LPMH-UH Indah Sari

Sepi dan gelap: gambaran Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH) pada malam hari. Tak ada lagi hiruk-pikuk pada malam hari di fakultas yang harusnya melahirkan pejuang-pejuang muda. Diawali dari pintu besi, penguncian sekret pada pukul 18.00, lalu yang teranyar ialah listrik dimatikan di setiap lembaga mahasiswa (lema). Itulah yang dilakukan mereka yang kita “orang tua kedua”. Entah apa tujuannya, satu yang pasti langkah mereka berhasil membuat lema FH-UH “mati gaya” pada malam hari. Kita patut iri dengan fakultas lain yang masih bisa melahirkan ide-idenya selepas petang di rumah kecil mereka. FH-UH harusnya berdiri di garda terdepan untuk hal tersebut.

Orang tua di kampung akan mengizinkan anaknya pergi ke rumah teman untuk belajar dan berbagi ilmu bersama. Atas nama ilmu, mereka mendukung anaknya tak hanya sampai petang, malam hari bukanlah waktu keramat. Bagi mereka, waktu tak boleh membatasi sang anak mencari dan berbagi ilmu. Orang tua di kampung mungkin tak memiliki gelar berderet, mungkin juga tak begitu pandai berdebat. Namun, merekalah orang tua yang sesungguhnya. Dibanding menjauhi, mereka memilih merangkul. Mereka pendengar yang baik, bukan pendebat ulung. Mereka sering menunjukan kasihnya dibanding marahnya. Kita tentu berharap, ada sosok “orang tua” di kampus yang mendekati sosok orang tua di kampung.

Miris, sedih, dan prihatin. Itulah yang penulis rasakan–bisa jadi anda juga merasakannya—melihat keadaan lembaga mahasiswa di FH-UH saat ini. Tiada lagi ide-ide yang lahir dari perkumpulan selepas petang di ruang yang kita sebut sekretariat. Ruang yang menjadi tempat lahirnya ide-ide dibiarkan temaram. Dengan kuasanya, tuan dan puan “memaksa” para agen perubahan untuk pulang bersama senja.

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FH-UH yang harusnya gahar, nyatanya tak lagi gahar. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa yang tarjadi hari ini adalah karena mereka–yang harusnya gahar—terlalu lama “diam”. Tak ada pergerakan yang begitu berarti dari si gahar. BEM lebih sibuk membenahi struktur kepengurusan yang entah sudah berapa kali mengalami perubahan. Entahlah dengan DPM.

Saling bergantian berpuisi dan melantunkan lagu-lagu. Namun, hanya terdengar di antara mereka saja. Kecuali memaknai pergerakan tak utuh, maka acara tersebut pantas disejajarkan. Jawaban dari pertanyaan apakah hal tersebut hanya ajang sok asik atau memang suatu pergerakan ialah dengan melihat tindak lanjutnya. Sehari berpuisi dan bernyanyi, tidak akan mengubah apa-apa. Wiji Thukul akan sedih, jika puisinya hanya sebatas puisi. Sejarah menolak mereka yang setengah hati melawan, mereka yang hanya sehari berkumpul dan tak bersatu. Bersatu atau jadi buih, setengah hati atau setengah mati. Mari mengingat-ingat materi Pembinaan Mahasiswa Hukum Tahap I (PMH I), barangkali dengan itu, kita bisa memilih dengan baik dan benar.

Jika tak pandai berdialog, tak juga sepenuh hati melawan, lalu, kepada siapa kami harus harus bersandar? Si gahar harus menjawab 319 suara harapan yang terkumpul dalam bilik suara.

Related posts: