Muhammad Aldi Sido
(Kabid Hukum dan HAM HMI Komisariat Hukum Unhas)
Organisasi Kemasyarakatan atau yang biasa disebut ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila. Pengertian ormas yang diejawantahkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) tersebut pada intinya mengandung beberapa unsur seperti; berasal dari inisiasi masyarakat, ada kesamaan arah pembentukannya, punya andil dalam pembangunan Indonesia, dan yang paling penting adalah berdasarkan Pancasila.
Hizbut Tahrir Indonesia, adalah satu dari ribuan ormas yang terdaftar dan berbadan hukum di republik ini dan saat ini diwacanakan akan dibubarkan. Organisasi yang berawal dari tanah Palestina tersebut, memiliki tujuan menegakkan Daulah Islamiyah atau pada hari ini santer disebut dengan Khilafah. Di Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia atau biasa disingkat HTI mulai masuk pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Baru pada tahun 1990-an hingga hari ini, kegiatan dakwah sudah merambah ke masyarakat, melalui aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahaan. Mengutip dari laman resmi HTI, pada intinya posisi HTI akan bermuara pada bagaimana mengambil alih kendali negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia di mana Khilafah akan kembali menjadi negara nomor satu di dunia. Jelas, HTI memosisikan visi akhirnya yakni pembentukan sebuah negara yang dinamakan Khilafah.
Sebagai suatu ormas, tentu HTI terikat dengan ketentuan perundang-undangan mengenai mekanisme pembentukan, aktivitas ormas, sampai pada mekanisme pembubarannya. Apa yang disampaikan Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto terkait isu pemerintah telah membubarkan HTI tentu tidak dapat diterima begitu saja secara serta merta dan harus di analisis secara kritis.
Dalam kacamata hukum, jelas itu bukanlah merupakan suatu keputusan hukum sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku, walaupun apabila berbicara mengenai tindakan HTI apakah bertentangan dengan Pancasila atau bukan, masih menjadi persoalan dan perdebatan lain.
Pada tulisan singkat ini tidak akan terlalu dalam membahas apakah ormas HTI yang mengusung Khilafah itu bertentangan dengan Pancasila atau tidak, atau apakah kegiatan HTI tidak sesuai dengan pembangunan dan tujuan nasional. Namun jika ingin membahas sedikit, jelas suatu pihak yang berniat mendirikan negara di dalam negara tentu dikategorikan sebagai pengkhianatan.
Yang menarik dilirik adalah apakah wacana pembubaran HTI yang disampaikan oleh Wiranto di depan media itu adalah suatu keputusan pemerintah yang resmi atau bukan, atau apakah sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, khususnya pada undang-undang yang mengatur mengenai organisasi kemasyarakatan.
Sebenarnya mekanisme pembubaran suatu organisasi kemasyarakatan secara runut dapat kita lihat pada UU Ormas. Suatu ormas yang didirikan di Indonesia baik oleh masyarakat ataupun warga negara asing dalam mekanisme pembubarannya setidaknya harus melalui tiga tahap sanksi sebelum dijatuhi sanksi pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum. Pada Pasal 61 UU Ormas disebutkan ada empat tahap sanksi administratif yang dapat dijatuhkan kepada suatu ormas yang melanggar larangan ormas dan kewajiban ormas sebagaimana termaktub dalam undang-undang tersebut. Sanksi-sanksi administratif tersebut berupa; (1) peringatan tertulis; (2) Penghentian bantuan dan/atau hibah; (3) Penghentian sementara kegiatan; dan/atau (4) pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum ormas tersebut.
Alasan pembubaran pada ormas HTI sebagaimana yang disampaikan oleh Wiranto pada intinya menyangkut dua hal yakni HTI dianggap tidak sesuai dengan Pancasila dan dianggap tidak melaksanakan peran positif dalam proses pembangunan untuk mencapai tujuan nasional.
Walaupun demikian, dalam Pasal 60 Ayat (2) UU Ormas disebutkan jika pemerintah dalam kewenangannya menjatuhkan sanksi administratif kepada ormas yang melanggar ketentuan yang ada, harus melakukan upaya persuasif terlebih dahulu sebelum menjatuhkan sanksi kepada ormas yang melakukan pelanggaran. Upaya persuasif dapat dilakukan dengan memanggil atau membangun komunikasi yang efektif terhadap ormas yang disinyalir melanggar aturan yang ada.
Jika upaya persuasif tidak dihiraukan, barulah pemerintah mengeluarkan sanksi administratif berupa peringatan tertulis yang terdiri atas tiga peringatan yakni surat peringatan (SP) 1, SP 2, dan SP 3. Peringatan tertulis tersebut diberikan secara berjenjang di mana setiap peringatan tertulis tersebut berlaku paling lama 30 hari. Ini berarti, setelah ada dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh suatu ormas, maka ormas tersebut memiliki waktu paling lama 90 hari untuk tiga peringatan tertulis untuk mengklarifikasi atau memperbaiki dugaan pelanggaran yang dialamatkan kepadanya. Jika dalam tempo waktu tersebut, ormas kembali mematuhi larangan yang berlaku, maka pemerintah mencabut peringatan tertulisnya.
Apabila peringatan tertulis tidak dipatuhi, maka berdasarkan Pasal 64, pemerintah kemudian dapat menjatuhkan sanksi administratif selanjutnya yakni penghentian bantuan dan/atau hibah; dan/atau penghentian sementara kegiatan. Pada sanksi ini, pemerintah memiliki opsi apakah memberikan sekaligus dua sanksi atau hanya satu. Sama seperti sanksi peringatan tertulis, jika setelah dijatuhi sanksi penghentian bantuan dan/atau hibah ormas kembali sesuai dengan tujuan undang-undang ormas, maka sanksi tersebut dapat dicabut.
Yang perlu diperhatikan adalah pada dijatuhkannya sanksi pembubaran sementara terhadap ormas, pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung (MA), di mana MA memiliki waktu paling lama 14 hari untuk mengeluarkan pertimbangan hukumnya. Apabila dalam tempo tersebut MA tidak mengeluarkan pertimbangan hukum, pemerintah secara serta merta dapat menjatuhkan sanksi pembubaran sementara terhadap ormas yang melanggar. Sanksi pembubaran sementara tersebut berlaku dalam jangka waktu paling lama enam bulan.
Apabila setelah semua sanksi administratif mulai dari peringatan tertulis hingga pembubaran sementara ormas tersebut tetap tidak digubris oleh ormas, barulah pemerintah dapat menjatuhkan sanksi berupa pencabutan status badan hukum setelah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran ormas berbadan hukum.
Merujuk pada undang-undang ormas, pengajuan permohonan pembubaran suatu ormas kepada pengadilan negeri dilakukan oleh Kejaksaan Republik Indonesia hanya apabila ada permintaan tertulis dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pada pengajuan permohonan tersebut, dilampirkanlah bukti-bukti penjatuhan sanksi administratif yang sebelumnya telah dikeluarkan.
Sama seperti persidangan lainnya di pengadilan, pihak yang mewakili ormas akan diberi hak untuk membela diri dengan memberikan keterangan dan bukti di persidangan. Barulah setelah mekanisme persidangan selesai, maka hakim membacakan putusan pada sidang yang terbuka untuk umum. Pada tahap ini, ormas yang dijatuhi pembubaran oleh pengadilan masih dapat melakukan upaya hukum lagi yakni kasasi.
Melihat mekanisme pembubaran organisasi kemasyarakatan secara singkat berdasarkan UU Ormas tersebut tentu dapat disimpulkan jika tagline berita yang mengangkat wacana bahwa Pemerintah “telah” membubarkan HTI jelas keliru dan menyesatkan publik. Malah dapat memicu konflik baru di masyarakat apalagi jika dilihat dari kacamata hukum, karena berdasarkan fakta pemerintah sama sekali belum membubarkan HTI, atau paling tidak pernah mengeluarkan peringatan tertulis (SP 1).
Memang, jika dilihat secara seksama ternyata untuk membubarkan suatu ormas di Indonesia terbilang sulit dan lama prosesnya. Nafas dari aturan tersebut pada intinya untuk menjamin kebebasan seluas-luasnya pada masyarakat untuk berserikat dan berkumpul sesuai amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Walaupun perjalanannya, menjadi batu sandungan pada ormas yang memiliki indikasi tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Pancasila.
Hal menarik lainnya mengenai ormas yakni suatu ormas dilarang untuk menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila sesuai pada Pasal 59 ayat (4) UU Ormas. Namun ternyata jika kita menelisik lebih jauh, pada bagian penjelasan terkait pasal tersebut pembuat undang-undang memberikan batasan terhadap maksud “ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” yang hanya digolongkan berupa ateisme, komunisme/marxisme-leninisme. Akan tetapi perkembangan zaman dan dinamika yang terjadi meniscayakan terbentuknya suatu model ajaran baru yang mungkin saja bertentangan dengan Pancasila. Dengan kata lain, terdapat banyak potensi ajaran lain yang dapat menggoyahkan Pancasila selain dari penjelasan pasal tersebut.
Pada akhirnya di luar wacana pembubaran ormas HTI ataupun dinamika politik yang terjadi di pemerintah, masyarakat harus bersatu dan tidak mudah goyah oleh setiap bentuk tindakan yang dapat merusak tatanan bangsa dan negara. Setiap organisasi kemasyarakatan mesti menaati hukum yang berlaku di Indonesia. Segala bentuk kegiatan yang mengganggu ketertiban, kegiatan yang dapat memecah belah bangsa, dan merongrong NKRI mesti dilawan secara kolektif dan sungguh-sungguh. Masyarakat harus turut aktif berperan dalam menyelamatkan persatuan bangsa yang telah susah payah didirikan oleh Founding People republik ini. Di lain sisi, pun pemerintah jangan terlalu senang bermain air pada ombak pasang di laut musim penghujan. Mengaduk-aduk samudera yang dapat menyebabkan tsunami massa yang juga muaranya pasti, adalah disintegrasi bangsa Indonesia.