web analytics
header

Kisruh Kepemimpinan Dewan Perwakilan Daerah

Sumber: Tribunnews.com

Sumber: Tribunnews.com
Sumber: Tribunnews.com

Marwan Mas

(Guru Besar Ilmu Hukum, Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, serta Hukum Konstitusi dan Kelembagaan Negara  Universitas Bosowa, Makassar)

       Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga legislasi dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia memang didesain tidak kuat (soft bicameralism). DPD yang sebetulnya disebut penyambung lidah rakyat daerah dengan pemerintahan pusat, sepertinya hanya sekadar asesoris ketatanegaraan. Proses legislasi DPD tidak memiliki kekuatan untuk memberikan persetujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, bahwa DPD hanya dapat mengajukan kepada DPR rancangan UU dan ikut membahas berkaitan dengan kepentingan daerah.

       Kendati kewenangan DPD yang sebetulnya didesain sebagai salah satu kamar dalam proses legislasi (sistem bikameral), ternyata tidak sesuai dengan harapan publik. Di tengah banyaknya pertanyaan publik mengenai peran anggota DPD memperjuangkan kepentingan daerah, justru sejumlah anggota DPD merebut kekuasaan kepemimpinan DPD. Bukan hanya itu, lebih dari setengah anggota DPD juga ramai-ramai menjadi anggota partai politik, padahal sebelumnya DPD didesain sebagai representasi teritori (wilayah) yang bersifat independen, yang berbeda dengan anggota DPR yang memang diperuntukkan bagi partai politik. 

       Kisruh perebutan pimpinan DPD diperparah dengan disahkannya Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Peraturan Tata Tertib DPD, yang membagi dua setengah tahun masa kepemimpinan DPD. Bukan lagi berdasarkan masa jabatan keanggotaan DPD selama lima tahun. Inilah pangkal kisruh kepemimpinan DPD karena setelah beberapa anggota DPD yang mengajukan uji materi Peraturan Tata Tertib DPD itu kepada Mahkamah Agung (MA) lantaran dinilai bertentangan dengah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ternyata MA dalam putusannya Nomor 38P/HUM/2016 tanggal 20 Februari 2017, dan Nomor 38P/HUM/2017 tanggal 29 Maret 2017 memutuskan, bahwa Peraturan DPD 1/2016 dan Nomor 1/2017 tentang Peraturan Tata Tertib DPD tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

       Dalam amar putusan MA juga memerintahkan kepada Pimpinan DPD untuk mencabut Peraturan DPD Nomor 1/2016 dan Nomor 1/2017 tentang Peraturan Tata Tertib DPD, serta menegaskan bahwa masa jabatan pimpinan DPD kembali pada Peraturan Tata Tertib DPD Nomor 1/2014. Artinya, masa jabatan pimpinan DPD tetap selama lima tahun sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPD Nomor 1/2014. Memang begitulah proses uji materiil di MA sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (2) Peraturan MA Nomor 1/2004 tentang Hak Uji Materiil, yang memerintahkan kepada Badan atau Instansi yang bersangkutan untuk mencabut peraturan yang dibuatnya.

       Apabila Badan atau Instansi dimaksud tidak melaksanakan putusan MA mencabut peraturan yang dibuatnya, maka berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2004, maka “Dalam waktu 90 (sembilan puluh) setelah putusan MA tersebut dikirim kepada Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.

       Putusan MA dalam perkara uji materi peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU tidak berlaku sertamerta, seperti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berlaku sejak diucapkan di depan sidang. MA dalam putusannya selalu memerintahkan kepada Lembaga (Badan) atau Instansi yang membuat peraturan itu untuk mencabutnya. Jika tidak dicabut, maka putusan uji materi MA berlaku secara otomatis dalam waktu 90 hari, sehingga peraturan yang dibatalkan MK dalam uji materil tidak berlaku dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat lagi.

       Namun, menurut Ketua Panitia Khusus (Pansus) Peraturan Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2016 pada Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan oleh Fisipol Unismuh, Fisifol Universitas Bosowa, dan IPI “Polemik Parpolisasi DPD-RI” tanggal 9 April 2017 di Makassar, bahwa perintah putusan MA itu sudah dilaksanakan Pimpinan DPD Nomor 12/PIMP/III/2016-2017 tentang Tinddak Lanjut Putusan MA Republik Indonesia Nomor 38P/HUM/2016 daan Nomor 20P/HUM/2017, tanggal 31 Maret 2017. Putusan Pimpinan DPD dibuat tiga hari setelah Putusan MA dengan mencabut Peraturan Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Nomor 1 Tahun 2017, dan kembali pada Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2014.

       Sayangnya, keputusan Pimpinan DPD tidak pernah disampaikan kepada MA, bahkan tidak berhasil dibacakan dalam Sidang Pleno DPD. Inilah yang dimanfaatkan kelompok Oesman Sapta Odang (OSO) dalam Sidang Pleno DPD tanggal 4 April 2017 dan memilih Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD yang baru, dengan Wakil Ketua masing-masing Nono Sampono dan Damayanti Lubis menggantikan Ketua DPD sebelumnya. Padahal, berdasarkan putusan MA Pimpinan DPD yang lama tetap sah karena Peraturan Tata Tertib DPD yang mengatur pembagian jabatan Pimpinan DPD masing-masing dua setengah tahun tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

       Kelemahan lain putusan MA yang dimanfaatkan oleh kubu OSO, adalah kesalahan pengetikan Ketua DPD menjadi “Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Ketua DPRD)” yang diperintahkan untuk mencabut Peraturan Tata Tertib DPD. Maka itu, ke depan perlu MA memperkuat putusannya dalam uji materi peraturan perundang-undangan terhadap UU dengan merevisi Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2004, bahwa “putusan uji materi MA berlaku sejak diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum”. Dengan demikian, wibawa dan kekuatan putusan uji materi MA akan sama dengan putusan uji materi UU terhadap UUD 1945 oleh MK.  

Lembaga Perwakilan Rakyat dan Sistem Bikameral

       Dikaji secara komprehensif hasil perubahan (amendemen) UUD 1945, maka kelihatan kalau Lembaga Perwakilan Rakyat termasuk “lembaga perwakilan rakyat atau legislatif tiga kamar (trikameral)”. Dapat dilihat pada posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai kamar tersendiri dalam lembaga perwakilan rakyat. DPR dan DPD masing-masing punya kamar tersendiri, tetapi secara langsung bersentuhan dengan proses pembentukan legislasi. Berbeda dengan MPR yang menurut Bagir Manan (Saldi Isra, Makalah, Penguatan Fungsi Legislasi DPD), bahwa MPR menjadi wadah badan perwakilan tersendiri karena susunannya yang menyebutkan terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD, sebagaimana ditegaskan Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 bahwa “MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah”.

       Dalam susunan dua kamar (bikameral) pembentukan legislasi menurut Bagir Manan, bukan anggota yang menjadi unsur tetapi badan yaitu DPR dan DPD. Kalau anggota yang menjadi unsur, maka MPR adalah badan yang berdiri sendiri. Dengan demikian, hasil perubahan UUD 1945 tidak menempatkan MPR menjadi “sidang gabungan (joint session)” antara DPR dengan DPD untuk menetapkan undang-undang. Salah satu kewenangan MPR ditegaskan dalam Pasal 3 Ayat (1) UUD 1945, yaitu “mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”. Kewenangan lain MPR adalah melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 3 Ayat 2 UUD 1945).

       Berdasarkan sejarah keberadaan sistem bikameral dalam lembaga perwakilan, pada awalnya berasal dari doktrin atau teori klasik Aristoteles dan Polybius yang mengargumentasikan, bahwa pemerintahan yang baik adalah gabungan antara prinsip demokrasi dan oligarki. Namun, yang pertama kali menyebut istilah bikameral (bicameral) adalah Jeremy Bentham (Saldi Isra, Makalah, Penguatan Fungsi Legislasi DPD), dan pada umumnya parlemen modern di kebanyakan negara menerapkan sistem dua kamar legislasi.

       Menurut Giovanni Sartori (1997:184) bahwa lembaga perwakilan rakyat dua kamar atau bikameral dilihat dari kekuatan kewenangannya terdiri atas tiga jenis. Pertama, sistem bikameral yang lemah (asymmetric bicameralism atau soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kamar lainnya. Kedua, sistem bikameral yang kuat (symmetric bicameralism atau strong bicameralism) yaitu jika kekuatan kedua kamar nyaris sama kuat. Ketiga, perfect bicameralism yaitu apabila kekuatan antara kedua kamar betul-betul seimbang.

       Selain tiga model bikameral berdasarkan tingkatan kekuatan kewenangannya, Giovanni Sartori (1997:186) juga membedakan bikameral menjadi tiga jenis berdasarkan komposisi atau struktur keanggotaan di antara kedua kamarnya. Pertama, bikameral yang unsurnya sama (similar bicameralism). Kedua, bikameral yang unsurnya agak berbeda (likely bicameralism). Ketiga, bikameral yang unsurnya sangat berbeda (differentiated bicameralism).

       Ternyata dalam Pasal 22D UUD 1945, DPD berada pada sistem dua kamar yang lemah (soft bicameralism) dengan unsur keanggotaan yang berbeda. Hal tersebut ditegaskan dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD juncto UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Namun, dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) membolehkan anggota dan pengurus partai politik menjadi anggota DPD.

       Ketentuan itu pernah diuji materi di MK yang diajukan oleh institusi DPD dan beberapa anggota DPD, tetapi MK dalam putusannya yang dibacakan pada 1 Juli 2008 menolak permohonan itu, dan yang dikabulkan hanyalah syarat domisili bagi calon anggota DPD harus berada pada wilayah provinsi bersangkutan. Maka itu, sejak pemilu legislatif tahun 2009 dan pemilu legislatif 2014 anggota DPD banyak diisi dari anggota dan pengustus partai politik.

Maksimalkan Kewenangan DPD

       Fungsi legislasi yang “setengah hati” bagi DPD sebagai wujud keterwakilan daerah tidak setara dengan DPR. Malah dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) mengerdilkan kewenangan itu, hanya ikut mengusulkan rancangan UU. Dua kali Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya No. 92/2012 dan No. 79/2014 menguatkan wewenang DPD. Pada kedua putusan itu, MK mempertegas tafsir peran DPD dalam Pasal 22D UUD 1945 sehingga pasal yang membatasi wewenang DPD dalam UU MD3 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

       MK mempertegas bahwa DPD selain dapat mengajukan rancangan UU, juga ikut membahas rancangan UU. Artinya, pembahasan rancangan UU harus dilakukan bersama antara DPR, DPD, dan presiden (pemerintah) sebelum mendapat persetujuan bersama antara DPR dan presiden. Jadi persoalan, karena ternyata dalam praktik putusan MK itu sampai kini belum pernah dilaksanakan DPR. Seharusnya putusan MK selaku penafsir konstitusi terhadap ketentuan undang-undang yang melenceng dijadikan dasar dalam proses legislasi.

        DPD memang tidak diberi kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang , karena Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 hanya milik DPR dan presiden. DPR yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945). Adanya kehendak melakukan perubahan (baca: amendemen) UUD 1945, peran DPD harus dioptimalkan sejajar dengan DPR sebagai dua pilar penyangga bangunan legislasi. Maka itu, dibentuk dua kamar legislasi yang setara, sehingga betul-betul terjadi check and balances dalam proses pembentukan legislasi. 

       Sekiranya DPR dan DPD punya kedudukan dan kewenangan setara sebagai dua pilar penyangga institusi parlemen, boleh jadi hasil legislasi dalam bentuk undang-undang tidak terlalu banyak yang diuji ke MK. Selama ini, begitu banyak substansi rumusan pasal dan ayat undang-undang dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat atau dibatalkan MK, lantaran bertentangan dengan UUD 1945. Di situlah peran penting DPD diharapkan hadir sebagai kamar lain yang melakukan check and balances terhadap materi undang-undang yang kemungkinan tidak sejalan dengan UUD 1945. 

       Kehadiran DPD sebagai anak kandung reformasi tidak boleh dinafikan perannya sebagai instrumen penting dalam pelaksanaan sistem politik dan pemerintahan yang demokratis. Setidaknya untuk saat ini, putusan MK yang memosisikan DPD sesuai UUD 1945, perlu diapresiasi sebelum dilakukan amendemen. Jika pun masih tanggung, tetapi peran DPD dapat  dioptimalkan dalam memperjuangkan kepentingan daerah.

        Kekuatan dan eksistensi wewenang yang sementara ini diberikan pada DPD tidak boleh disia-siakan. Jangan sampai wacana yang pernah disampaikan elite Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bahwa DPD diperkuat atau dibubarkan menjadi kenyataan. Kalau nantinya diperkuat dalam amendemen UUD 1945 tentu tidak ada persoalan, tetapi bisa saja dibubarkan kalau peran yang tidak kuat itu juga tidak dilaksanakan secara maksimal sesuai harapan rakyat.

       Wewenang “ikut membahas” rancangan undang-undang, memberikan pertimbangan terhadap rancangan UU APBN-pajak-pendidikan-agama, serta pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang merupakan bagian dari aspirasi rakyat di daerah. Kita tidak ingin dukungan rakyat yang diberikan kepada DPD menjadi terabaikan dengan hanya selalu menuntut kewenangan diperkuat dalam konstitusi.

       Peran dan wewenang itu harus diimplementasi dalam setiap pengusulan dan pembahasan rancang undang-undang agar bisa berdampak positif terhadap kesejahteraan rakyat. Jika pun ada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk melakukan penataan sistem ketatanegaraan melalui amendemen UUD 1945 seperti tulisan saya di harian ini (21/3/2016), DPD tidak boleh diam. Harus memperjuangkan dan merebut hak konstitusionalnya untuk memenuhi kepentingan rakyat di daerah.

       Perlu keseriusan melakukan penataan secara sistematis mengenai peran penting DPD. Ada apa DPR belum mau menerima Kehadiran DPD dalam pembahasan rancangan UU. Keikutsertaan DPD membahas rancangan UU sebetulnya sudah ditegaskan juga pada Pasal 278 Ayat (2) UU MD3, bahwa “Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada DPR dan Presiden dengan surat pengantar pimpinan DPD”.

       Kemudian Penjelasan Pasal 278 Ayat (2) UU MD3 tersebut menegaskan, bahwa “Keikutsertaan DPD dalam pembahasan rancangan UU yang terkait dengan kewenangan DPD, antara lain menyampaikan pandangan atau pendapat dan mengajukan daftar inventarisasi masalah (DIM) secara tertulis namun tidak ikut dalam pengambilan keputusan”. Inilah yang harus dilaksanakan sebagai tindaklanjut dari putusan MK dalam membahas rancangan undang-undang yang terkait dengan kepentingan rakyat di daerah.

       Untuk menyempurnakan UUD 1945 perlu dilakukan perubahan kelima yang bukan hanya mendesain penguatan DPD dalam dua kamar (bikameral sistem) yang efektif, tetapi yang juga penguatan sistem presidensial, hak asasi manusia, otonomi daerah dan hubungan pemerintah pusat-daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi, serta sistematika UUD 1945 yang sesuai dengan teori pembentukan konstitusi. UUD 1945 sebagai hukum dasar tetap butuh perbaikan sejalan dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. 

       Perubahan UUD 1945 merupakan keniscayaan sebagai salah satu agenda reformasi untuk keluar dari krisis politik, krisis hukum, krisis ekonomi, dan krisis moral. Empat kali memang telah memberikan berbagai perubahan yang amat mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Namun, hasil perubahan juga menyimpan berbagai kelemahan lantaran paradigma yang dibangun belum dapat dijadikan acuan dasar dalam mengefektifkan pemerintahan secara baik. Hasil amandemen belum mampu menjelaskan dan menjanjikan secara signifikan terhadap konstruksi nilai dan bangunan kenegaraan yang hendak dibangun.              

       Perlu ada perubahan kelima UUD 1945 dengan menguatkan kewenangan DPD dalam sistem ketatanegaan Indonesia, termasuk paradigma konstitusi baru. Sebab dikaji secara teoretis, empat kali perubahan UUD 1945 sesungguhnya suatu paradoks bila melihat seluruh hasil amendemen yang sudah tergolong konstitusi baru, karena merombak sebagian besar bangunan ketatanegaraan. Misalnya, amendemen Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang mempertegas MPR bukan lagi pemegang penuh kedaulatan rakyat. MPR bukan satu-satunya pelaksana kedaulatan rakyat, karena ada presiden (eksekutif), DPR dan DPD (legislatif), MA dan MK termasuk KY (yudikatif), serta lembaga-lembaga negara yang lain.


 
DAFTAR PUSTAKA
Denny Indrayana. 2008. Indonesian Constitutional Reform 1999-2002. Kompas Book Publishing, Jakarta.
Giovanni Sartori. 1997. Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes, New York University Press. 
Jimly Asshiddiqie. 2007. Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer. The Biografhy Institute, Jakarta.
____2008. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Kusuma, RM.A.B. 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Marwan Mas. Keniscayaan Perubahan Komprehensif UUD 1945. Koran Sindo. Edisi Kamis 19 Maret 2009, Jakarta.
____Analisis Kelemahan dan Kelebihan Hasil Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (Hasil Penelitian). Media Hukum, Jurnal Ilmiah Hukum Terakreditasi. Volume 17 Nomor 2 Desember 2010, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta. 
Moh. Mahfud MD. 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Edisi Revisi. Rineka Cipta, Jakarta.
Saldi Isra. Makalah. 2007. Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah.

Related posts: