Muhammad Reski Ismail
(Mahasiswa Angkatan 2013 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
Beberapa hari terakhir ini pemberitaan di media nasional baik elektronik maupun cetak dipenuhi dengan kisruh antara dua lembaga yang menurut saya amat vital perannya bagi kehidupan bernegara kita. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legistlatif, penyambung lidah masyarakat, serta pemegang palu anggaran saling berhadap-hadapan dengan lembaga anti rasuah yakni Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) yang tengah fokus menjalankan agendanya dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia.
Dalam Harian Kompas edisi 10 Juni lalu ditulis berita dengan judul “KPK DIHABISI” seakan memberikan pertanda bahwa lembaga perwakilan sedang membidik KPK. Dalam pemberitaan lainnya DPR yang telah resmi melaksanakan angket atas KPK juga menggambarkan keadaan dimana DPR sedang sibuk mencari-cari kesalahan dari KPK, isu yang muncul mengenai revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) juga kembali mencuat.
DPR terus-menerus menegaskan kepada publik bahwa revisi UU KPK serta angket yang akan dilakukan dimaksudkan untuk memperkuat KPK bukan untuk melemahkan sebagaimana pemberitaan yang beredar. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Fahri Hamzah selaku Wakil Ketua DPR yang mengetuk palu pelaksanaan hak angket serta pernyataan Agun Gunanjar selaku Ketua Tim Pansus Hak Angket bahwa terdapat banyak kekurangan pada KPK secara institusi serta kelemahan-kelemahan pada undang-undangnya sehingga perlu untuk dibenahi.
Awalnya isu penggunaan hak angket dan revisi UU KPK memanas pasca dicatutnya nama-nama politisi parpol yang beberapa diantaranya masih menjabat sebagai anggota DPR RI, termasuk Ketua DPR RI atas kasus Korupsi e-KTP, selain itu penyebutan nama salah satu tokoh pembina partai dalam kasus korupsi dana Alat Kesehatan (Alkes), semakin membuat beberapa fraksi di DPR kebakaran jenggot dan menggenjot pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket.
Fraksi PAN yang sebelumnya menolak hak angket malah berbalik menyetujui. Hak angket DPR dibahas dan disetujui pada rapat Paripurna DPR, Jumat (28/4) dan resmi membentuk Pansus Angket pada Rabu, (7/6). Angket mulai bergulir beberapa hari yang lalu dan langsung melaksanakan agendanya, Pansus Hak Angket juga sempat mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung untuk meminta keterangan kepada narapidana kasus korupsi.
Menurut Agun Gunanjar visi dari angket tersebut ialah untuk menata ulang tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) dari KPK agar dapat bekerja beriringan dengan Polisi dan Kejaksaan. Revisi Tupoksi KPK dimaksudkan agar terwujud trigger mechanism. Saat ini KPK dianggap lebih banyak menindak ketimbang melakukan koordinasi dan supervisi kepada kepolisian dan kejaksaan sehingga perlu untuk ditata ulang agar KPK kembali ke posisi awalnya.
Alasan tersebut tentu saja masuk akal namun timing serta prosedur yang dilakukan DPR cenderung berantakan bahkan terkesan dipaksakan ditambah lagi dengan rencana revisi UU KPK yang dalam drafnya menyatakan batas waktu/umur KPK, pembatasan kewenangan menyadap, serta pembatasan hak penuntutan. Rakyat sangat sulit untuk percaya bahwa revisi UU KPK tersebut dimaksudkan untuk menguatkan KPK. Ada empat agenda utama dari pansus angket tersebut menurut Asrul Sani dalam Kompas hari Kamis (22/6/2017) lalu, yaitu terkait kelembagaan KPK, pengelolaan sumber daya manusia, pengelolaan anggaran, dan terkait pelaksanaan kewenangan penegakan hukum.
Pelaksanaan hak angket DPR sebenarnya bisa saja dilakukan asalkan sesuai dengan syarat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan juga Tata tertib DPR yang selanjutnya disebut UU MD3. Syarat formil untuk melakukan angket berdasarkan UU MD3 pasal 199 ayat (3) yaitu usul hak angket oleh pengusul (minimal 25 anggota DPR lebih dari 1 fraksi) akan menjadi hak angket DPR apabila disetujui lebih dari 1/2 (setengah) jumlah anggota DPR yang hadir dalam paripurna. Syarat tersebut merupakan syarat sah dalam pengambilan keputusan tentang hak angket, cara menilai terpenuhi atau tidaknya syarat tersebut seharusnya dilakukan melalui voting secara terbuka, dimana anggota DPR yang hadir pada rapat paripurna memiliki hak suara untuk menyatakan setuju atau tidak setuju atas usul pelaksanaan angket.
Namun faktanya, hasil rapat paripurna tersebut diputuskan tidak dengan prosedur voting melainkan aklamasi dimana pimpinan sidang hanya mendengar usul serta alasannya kemudian secara sepihak menetapkan. Selain itu rapat tersebut juga diwarnai aksi walk out oleh anggota DPR dari fraksi PK. Hal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 199 ayat (3) UU MD3 karena tidak adanya perhitungan jumlah setuju atau tidak setuju atas usul pelaksanaan hak angket tersebut.
Hak angket DPR diatur pada Pasal 79 ayat (1) UU MD3 yaitu DPR dalam rangka fungsi pengawasan mempunyai 3 (tiga) hak yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, selanjutnya pada Pasal 79 ayat (3) UU MD3 diatur mengenai pengertian hak angket dan subjek dari pelaksanaan hak tersebut atau secara sederhana siapa yang bisa diangket (hak menyelidiki) yaitu hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Ada tiga poin yang perlu dicermati dalam pasal tersebut yaitu Hak tersebut dilaksanakan untuk 1) Menyelidiki pelaksanaan Undang-Undang dan/atau kebijakan pemerintah; 2) Berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas; dan 3) Diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Untuk melakukan angket setidak-tidaknya harus memenuhi salah satu dari ketiga poin tersebut. Khusus poin pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3 tersebut secara tegas telah dibatasi dalam penjelasan Pasal 79 ayat (3) yaitu Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, Menteri Negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Nonkementerian.
Jika kita mengacu pada penjelasan Pasal 79 ayat (3), dalam tulisan Bayu Dwi Anggono menjelaskan bahwa KPK bukanlah termasuk bagian dari pemerintah pun bukan bagian dari lembaga pemerintah nonkementerian. Ciri lembaga pemerintah nonkementerian secara limitatif dapat dibaca dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 tahun 2013 tentang Perubahan kedelapan atas Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Dalam Pepres tersebut disebutkan lembaga-lembaga yang termasuk lembaga pemerintah non kemeterian dan di dalamnya tidak mencakupi KPK.
Selain itu, menurut Refly Harun untuk menggunakan hak angket seharusnya berdasar masalah yang konkret, atau secara nyata memiliki objek yang jelas (konkret) sebagai bahan penyelidikan. Jika ditinjau dari alasan DPR dalam melakukan hak angket ini, sama sekali tidak ditemui bentuk permasalahan konkret yang patut untuk diselidiki. Prof. Mahfud MD juga menambahkan bahwasanya filosofi dari angket ini adalah untuk mengawasi kinerja pemerintah serta pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang jika nanti terbukti terdapat kekeliruan maka diberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk memperbaiki, hal tersebut merupakan bagian dari fungsi pengawasan DPR.
Namun apabila tetap dipaksakan untuk mengangket KPK maka apa rekomendasi yang mesti dijalankan oleh KPK, hal tersebut menurut Prof. Mahfud MD sangatlah tidak jelas. Diperkuat kembali oleh Bayu Dwi Anggono bahwa angket DPR terhadap KPK mengandung cacat prosedur dan cacat substansi, maka dampaknya hak angket ini harus dianggap batal demi hukum. Sehingga KPK tidak wajib terikat kepada penggunaan hak angket tersebut. Jika DPR tetap memaksakan penggunaan hak angket tersebut, maka sesungguhnya DPR tidak hanya melanggar UU tapi juga konstitusi hukum dasar tertinggi di Indonesia.
Di lain sisi pelaksanaan angket terhadap KPK menurut penulis sangat berbau politis dan cenderung dipaksakan, hal tersebut merupakan preseden yang buruk dalam kehidupan ketatanegaraan kita dimana pertimbangan politis mendominasi dan mengesampingkan pertimbangan hukum, negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat) sehingga sebaiknya kita mengedepankan proses hukum yang ada.
DPR sebagai representasi rakyat tentu menginginkan suatu regulasi yang baik dan efektif dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi, begitupula dengan KPK, maksud baik dari DPR hendaklah disampaikan secara jelas kepada rakyat yang terlanjur marah dan menuduh DPR ingin melemahkan KPK, ruang-ruang dialog antara DPR dan KPK sebaiknya diintensifkan guna menemukan jalan tengah yang tentunya menguntungkan kedua lembaga tersebut. KPK juga mesti bersikap profesional, apabila benar tentu tidak akan gentar mempertanggung jawabkannya di depan forum Pansus angket yang juga sudah terlanjur diketuk palu untuk dilaksanakan. Apabila tidak sepakat maka hadapi dengan jalur hukum yaitu uji Konstitusional di Mahkamah Konstitusi atau gugat keputusan Angket di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Rakyat Indonesia sudah bosan dipertontonkan dramaturgi tentang komitmen penyelenggara negara dalam memberantas korupsi di Indonesia, DPR dengan upaya angketnya yang cenderung dipaksakan dan tendensius untuk melemahkan KPK. Serta KPK sendiri yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masih belum maksimal, masih banyak kasus yang terbengkalai seperti kasus century, kasus reklamasi, kasus sumber waras, serta kasus-kasus lainnya yang seharusnya bisa dijelaskan kepada publik bagaimana perkembangannya.
Akhirnya kita hanya bisa berharap sembari berdoa agar Tuhan menunjukkan siapa yang memang “Anti Korupsi” dan siapa yang hanya berpura-pura.