Oleh : Hasbi Assidiq
(Wakil Koordinator Divisi Litbang dan Advokasi Media LPMH-UH Periode 2017-2018)
Demokrasi merupakan “mantra” yang bisa digunakan oleh rezim pemerintahan untuk membuat pemerintahannya stabil, menjadikan legitimasi kedaulatan rakyat sebagai landasan geraknya dalam menjalankan pemerintahan, sehingga kita melihat kebijakan yang mereka lakukan adalah suatu bentuk yang legal, karna tidak bertentangan dengan keinginan rakyat, karna dipahami bahwa bentuk kedaulatan tertinggi terletak pada keinginan rakyat. Demokrasi yang secara bahasa berasal dari bahasa Yunani yang akar katanya dari demos dan kratos, demos yang bermakna rakyat dan kratos yang bermakna kedaulatan/ kekuasaan/ pemerintahan. Jadi makna yang hadir dengan istilah demokrasi secara kata adalah kedaulatan rakyat.
Demokrasi di Indonesia dibagi dalam dua bentuk, yakni demokrasi langsung dan tidak langsung yang diwujudkan dengan pelaksanaan pemilihan umum untuk para perwakilan dalam berbagai bidang kekuasaan, mulai dari yang merumuskan undang-undang untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, dan juga memilih pelaksana pemerintahan yang menjalankan pemerintahan dipilih pula oleh rakyat, konsep ini diatur dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Dalam realitas sosial masyarakat kita demokrasi telah menjadi pembahasan yang tidak lagi tabu, pembicaraan dilakukan di ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahkan sampai pada meja makan keluarga semua ingin didemokrasikan, tak peduli apakah hal itu menjadi benar atau salah yang jelas ketika demokrasi itu bermanfaat membuat kepentingan dari suatu golongan menjadi bisa terealisasikan dengan baik maka akan dihalalkan segara cara untuk mewujudkan hal tersebut, misalnya dengan beberapa kompromi-kompromi politik yang terjadi dalam masyarakat itu.
Konsepsi demokrasi yang substansinya merupakan kedaulatan rakyat, membuka penafsiran yang parsial dari demokrasi itu sendiri, pemahaman terhadap demokrasi yang sering diartikan sebagai suara terbanyakvyang menjadi keinginan kelompok mayoritas itulah yang harus dijalankan, bilamana tidak maka hal tersebut dikatakan tidak demokratis sehingga tidak peduli apakah hal yang dilakukan tersebut adalah yang paling baik atau tidak, yang jelas itulah yang diinginkan oleh mayoritas masyarakat. Melihat kondisi yang seperti ini harus dilakukan upaya untuk mengikatkan kembali demokrasi dengan nilai-nilai etika (nilai-nilai universal) kemanusiaan agar membentuk masyarakat yang sadar akan kemanusiaannya.
Tujuan dari hadirnya demokrasi adalah terciptanya harmonisasi antara individu yang ada dalam suatu masyarakat, jika demokrasi hanya ditafsirkan sebagai konsep kedaulatan rakyat tanpa terus memahami hakikat dari kedaulatan rakyat tadi untuk mewujudkan harmonisasi, maka akan tercipta praktik diktator kelompok mayoritas, rekayasa anarki, atau pembelokan manipulasi kehendak rakyat, tanpa keinginan untuk saling memahami anatara individu yang satu dengan yang lain maka yang hadir adalah paradigma persaingan, dominasi antara kelas mayoritas yang mendominasi kelas minoritas agar tunduk pada keinginan mayoritas, ketika tiap individu yang dalam suatu masyarakat itu diberikan kebebasan sebebas-bebasnya maka yang akan hadir adalah anarki yang bisa merusak tatanan sosial yang ada di masyarakat karena memicu terjadinya disharmonisasi dalam masyarakat, sehingga di sinilah hukum hadir menunjukkan supremasinya untuk menjaga hak-hak yang dimiliki tiap individu dalam masyarakat tersebut.
Demokrasi tanpa hukum yang jelas hanyalah menghasilkan fatamorgana imajinal, kondisi yang dapat menimbulkan kerentanan yang signifikan akan menciptakan ketakutan akan konflik (sengketa hukum) yang bisa saja dijerat kepada kita jika tidak pandai-pandai dalam membaca situasi, pada saat seperti ini hukum yang bersifat netral dan memiliki tujuan awal untuk menciptakan perlindungan dan jaminan hak asasi manusia, menjadi hukum natural selection Darwin yang membuat hukum buatan penguasa yang tercipta menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaannya untuk menjaga stabilitas kemanan agar tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap kondisi mereka, inilah wajah hukum dalam bentuk lain yang mengerikan, yang harus segera kita singkirkan tentunya dengan konsep autentifikasi dari demokrasi itu sendiri.
Semangat demokrasi lahir dari kesadaran manusia akan keberadaan nilai-nilai universal yang mereka miliki seperti ketidakinginan mereka untuk dipaksa/ditekan (kehendak bebas) bahwa pada hakikatnya semua umat manusia memiliki kehendak bebas, yang agar kehendak bebas kita terpenuhi dan tidak terlanggar oleh kehendak bebas orang lain kita juga harus hadir dengan menjaga kehendak bebas kita serta menghormati kehendak bebas orang lain, karena pada hakikatnya kita semua sama sebagai manusia yang merdeka, yang pada akhirnya akan bertanggung jawab atas kemerdekaan yang kita miliki masing-masing. Memahami dengan apa kita menggunakan kemerdekaan yang kita miliki tersebut, apakah dengan juga menjaga dan menghormati kemerdekaan orang lain atau malah kita mewujudkan tirani (despotism) yakni suatu bentuk pemerintahan yang tidak terbatas, yang dengannya penguasa (pemerintah ) berhak untuk melakukan apapun terhadap rakyatnya.
Tafsiran Demokrasi memiliki makna bias yang bisa saja dipahami tergantung dari subyek yang melaksanakannya, negara yang sosialis yang otoriter juga terkadang memakai instrumen demokrasi untuk melegitimasi kekuasannya, mengatakan bahwa demokrasi ini harus menjaga kepentingan bersama umat manusia, maka dengan itu negara harus hadir untuk mengontrol hal tersebut, negara hadir dalam hal tersebut untuk menjamin tidak adanya individu yang memiliki hak lebih dibanding hak yang lain karna kehadiran hal demikian dapat mengakibatkan adanya dominasi individu yang satu terhadap individu yang lain, namun sayangnya negara sosialis terkadang menjalankan demokrasi ini dengan pembatasan kebebasan atas manusia itu sendiri yang secara tidak langsung akan mengakibatkan hadirnya tirani dalam kelompok itu sendiri, menjadi totalitarianisme karena adanya pihak super power yang memiliki kekuatan untuk mengontrol berjalannya hak yang dibatasi dalam negara tersebut, menghilangkan eksistensi manusia dalam kebebasan berkehendak yang dia miliki.
Di sisi yang lain demorasi dalam pandangan liberal dimaknai sebagai upaya untuk menjamin kebebasan berkehendak setiap individu dengan jaminan penegakan hukum yang berkeadilan untuk mewujudkan hal tersebut, namun di sisi yang lain kondisi masyarakat yang masih kurang memahami dirinya sebagai manusia yang bebas, dan terkadang berada dalam sikap yang fanatik dalam memandang sesuatu, bersikap eksklusif terhadap yang lain, klaim terhadap kebenaran yang tak berdasar, hingga dengan klaim kebenaran itu terkadang membuat mereka merasa memiliki hak untuk mengambil kebebasan yang lain, mengintimidasi kelompok minoritas dengan ego kemayoritasan yang mereka miliki, kerentanan seperti ini akan mengakibatkan penegakan hukum yang tak berkeadilan, karena mereka akan memihak pada kebebasan mayoritas yang kemudian mengakibtakan tercabutnya hak-hak minoritas dalam lembaga masyarakat tersebut.
Sudut pandang alternative dalam dua perspective ini kita harus melihat demokrasi itu sebagai alat yang dapat memanusiakan manusia, maka harus dipandang dalam sudut filantropi yang cinta akan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan yang mereka miliki jalan mewujudkan demokrasi yang harmonis membutuhkan sikap keterbukaan terhadap hal-hal baru untuk semakin mendekonstruksi hal tersebut, jika kita meyakini keberadaan nilai kebenaran universal, maka kita harus menjaga autentifikasi dari manusia yang memiliki kebebasan dengan tidak sedikitpun berusaha untuk memaksakan kehendak yang kita yakini walaupun itu benar, karena jika memang itu adalah kebenaran maka konsep itu akan melindungi nilai kehendak bebas manusia yang kemudian seiring berjalannya waktu, masyarakat akan menerima hal tersebut karena itulah yang bisa menjamin hak mereka, maka salah satu metode yang dapat kita lakukan adalah pengajaran nilai-nilai kemanusiaan, karena syarat dari tegaknya demokrasi yang harmonis adalah masyarakat harus cerdas untuk menyadari kekuasaan mutlak yang mereka miliki.
Individu dalam masyarakat harus memahami dirinya sebagai makhluk yang saling membutuhkan, tanpa ada upaya menghegemoni yang lain mengikut, menyadari bahwa setiap manusia itu memiliki kehendak bebas maka upaya yang harus dilakukan adalah upaya mencerdaskan masyarakat.
Referensi :
Nurtjahjo Hendra, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara , Jakarta, 2008.
Hamid Abdol, Komponen dan Spesifikasi Demokrasi Religius, Demokrasi Religius, Rausyan Fikr Institute, Yogyakarta, 2013.
Kellner Douglas, Budaya Media Cultural Studies, Identitas dan Politik, Antara Modern dan Post Modern, Jalasutra, Yogyakarta, 2010.