Oleh :
Muh. Sauky Maulana
Juara Tiga Lomba Penulisan Opini LPMH-UH XXIII
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Mesin UNM
Sebentar lagi Indonesia akan menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2019. Tidak hanya memilih presiden dan wakil presiden, namun juga anggota legislatifnya. Selain Pasangan Calon (Paslon) dan Calon Legislatif (Caleg), tentunya banyak ornamen pelengkap yang menghiasi perhelatan tersebut, contohnya seperti posko pemenang, brosur, kalender, hingga baliho dengan foto berbagai gaya dari para Paslon dan Caleg itu sendiri. Bahkan, lengkap dengan janji manis jika mereka terpilih nanti. Ini semua tentunya diharapkan bisa menggalang suara kemenangan bagi mereka.
Hal diatas tentunya masih dianggap sah-sah saja, karena masih berada pada wilayah yang lumrah setiap kali ajang ini akan digelar. Situasi akan berbeda ketika, beberapa mereka menghalalkan segala cara agar nantinya terpilih. Mereka seakan dibutakan dengan tahta kekuasaan hingga mengesampingkan nilai kemanusiaan. Sehingga terkadang, beberapa dengan mudah saja berkampanye menggunakan isu-isu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) yang mereka harapkan bisa mendongkrak suara kemenangann.
Memunculkan isu SARA, terlebih agama sebagai wadah berkampanye ria merupakan hal yang krusial di tahun politik seperti ini. Mengapa? Karena secara psikologis, masyarakat Indonesia masih mudah tersulut kemarahannya apabila membahas konteks keagamaan. Namun, isu agama seakan masih menjadi pusat tanggapan emosional dari masyarakat. Terlebih lagi, isu seperti ini sangat mudah tersebar di zaman yang sudah canggih sekarang ini.
Timbul lagi pertanyaan, apakah tahun politik harus ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan eskalasi intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok atau golongan?
Ternyata benar petuah yang mengatakan harta, tahta, dan wanita bisa merubah segalanya. Para Paslon dan Caleg dengan mudah mengorbankan toleransi antar umat yang sudah ditanamkan oleh para pendahulu kita sebelumnya demi kepentingan mereka.
Dimanakah semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang selama ini selalu kita gaungkan? Bukankah bangsa kita terkenal dengan kemajemukannya? Orang-orang zaman dulu masih mudah melempar senyum, meskipun mereka berbeda agama, suku, ras, dan budaya. Bagaimana dengan sekarang?
Melihat fenomena diatas, ada baiknya mereka dan tim suksesnya membaca peraturan tentang kampanye itu sendiri. Sehingga proses kampanye tidak menimbulkan konflik. Peraturan terkait kampanye telah diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 28 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum. Contohnya saja dalam pasal terkait materi kampaye, pada peraturan tersebut tertulis bahwa menyebutkan materi kampanye harus menghormati perbedaan suku, agama, ras, dan golongan masyarakat.
Terkait munculnya permasalahan kampanye, sebaiknya tidak bisa dibiarkan begitu saja. Disinilah seharusnya peran pers. Pers merupakan sumber informasi yang dengan mudah orang akses menggunakan smartphonenya. Meskipun pers memang bukan ada sebagai juru damai, tapi setidaknya pers tidak melakukan propaganda yang bisa lebih memperburuk keadaan.
Selain isu SARA, permasalahannya sekarang ialah, apabila pers yang diharapkan independen malah ditunggangi oleh beberapa Paslon dan Caleg untuk framing diri demi kemenangannya.
Menurut penulis, pers seharusnya menjadi tameng pertama untuk meredam isu-isu SARA sehingga masyarakat Indonesia tidak perlu terpecah-belah dan berkonflik untuk sesuatu yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan. Sebuah perbedaan itu harusnya tidak perlu menimbulkan konflik ketika masing-masing bisa saling memahami, tanpa memaksakan pendapatnya.
Sehingga penulis mengajak untuk seluruh orang yang bergelut pada perusahaan pers dan lembaga kuli tinta tersebut sebaiknya menghadirkan konten-konten yang lebih bermanfaat untuk mempererat persatuan negara. Dengan cara menghadirkan tulisan-tulisan yang bisa mengklarifikasi kabar-kabar hoax tentang isu SARA serta mengedepankan independensi.