web analytics
header

Jaksa Agung Muda Intelijen Singgung MLA RI-Swiss Pada Kuliah Umum di Unhas

jj
Suasana kuliah umum dengan tema Memahami Tindak Pidana Lintas Negara di Era Melenial, bertempat di FH-UH, Selasa (12/2). Sumber: dokumentasi pribadi.

Makassar, Eksepsi Online – Jan S Marinka selaku Jaksa Agung Muda Intelejen Kejaksaan Republik Indonesia (RI) singgung Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Mutual Legal Assistance (MLA) antara RI dengan Swiss yang baru saja terbentuk, pada kuliah umum yang dibawakannya di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH), Selasa (12/2). Kuliah umum tersebut bertema Memahami Tindak Pidana Lintas Negara di Era Melenial.

Pada kuliah umum itu, Jan S Marinka mengatakan bahwa MLA yang terdiri dari 39 pasal tersebut merupakan cara Indonesia agar dapat melacak dan mengejar aset Indonesia di Swiss. Jan menambahkan, dengan MLA ini para penegak hukum Indonesia dapat melakukan pemeriksaan saksi, membekukan, menyita, merampas aset serta upaya hukum lainnya dengan lintas negara demi menegakan hukum pidana di Indonesia.

“Di dunia internasional telah ada UNTOC dan UNCAC yang mengaturnya, dan Indonesia telah meratifikasi itu. Dengan adanya perjanjian MLA ini juga, maka tidak akan ada batas lagi bagi penegak hukum untuk mengusut tindak pidana lintas negara. Kita dapat menerobos batas tersebut,” tambahnya.

Tidak hanya itu, kata Jan, untuk melaksanakan kerja sama tersebut haruslah diperhatikan Central of Authority terlebih dahulu, yakni terkait kecermatan pemberian informasi mengenai kelengkapan dokumen dalam mendukung pemeriksaan dan pembuktian. Namun di Indonesia, menurutnya, terdapat perbedaan sistem dengan banyak negara di dunia terkait ini. Indonesia saat ini tidak terdapat Kementertian Kehakiman yang seharusnya mengambil fungsi Central of Authority tersebut.

“Pasca reformasi Kementerian Kehakiman tidak ada lagi, dan ranah yudikatif diberikan kepada Mahkamah Agung. Setelahnya dibuatlah Kemenkumham dan dibuatlah pemahaman bahwa Kemenkunham yang menjalankan fungsi Kementerian Kehakiman tersebut. Padahal seharusnya Kementerian Kehakiman mempunyai akses langsung dalam sistem peradilan,” katanya.

Sehingga menurutnya, posisi kejaksaan sebagai focal point dirasakan lebih tepat, mengingat jaksa memegang peran pembuktian. Sehingga dapat menilai kecukupan dokumen yang diperlukan dalam mendukung pembuktian di muka persidangan. Katanya juga, Menteri Kemenkumham mempunyai fungsi yang berbeda dengan Jaksa Agung terkait pembuktian dan penuntutan, karena peran jaksalah yang banyak dalam hal itu. 

Di akhir, Jaksa Agung Muda ini juga mengatakan bahwa dalam menjalankan perjanjian ekstradisi maupun MLA, birokrasi Indonesia cendrung melakukan duplikasi pekerjaan, sehingga, birokrasi dan rentan kendali terlalu panjang. Terkadang hal tersebutlah yang menjadi hambatan untuk menegakkan hukum.

“Para penegak hukum harus bekerjasama dengan baik. Ketika kejahatan tersebut lintas negara maka penegak hukum tidak boleh bekerja sendiri, apalagi bekerja sendiri-sendiri. Kerjasama yang baik akan menunjukan pesan bahwa, tidak ada tempat yang aman bagi para pelaku kejahatan,” tutupnya. (Sme)

 

Related posts: