Oleh : Elmayanti
Pengurus LPMH-UH Periode 2021-2022
“Dasar bodoh!”
“Kok berani sih upload muka penuh jerawat gitu?”
“Sok paling produktif!”
“Kamu gendutan yah?”
Seberapa sering kalian membaca komentar seperti di atas? Dimana biasanya kalian mendapati komentar yang serupa? Dikolom komentar selebriti dengan segudang haters? Di akun figur publik yang berusaha menampilkan citra baik? Di Instagram temanmu yang cenderung pendiam? Atau jangan-jangan di media sosial milikmu sendiri?
Memang hanya perlu beberapa detik untuk mengetik kalimat demi kalimat tersebut, namun efek yang dirasakan penerima tak berlangsung selama hitungan detik saja. Itu bisa saja mengganggu dan menjadi mimpi buruk hingga bertahun-tahun bahkan yang lebih naas, ditutup dengan gantung diri.
Bully (perundungan) sudah melekat sejak dulu di masyarakat kita. Warta buruknya, dengan perkembangan zaman yang ada, bully tidak berangsur berkurang, bahkan semakin bertambah dan kini merambat ke dunia maya. Bully di dunia maya bermetamorfosa menjadi penyimpangan yang dianggap sepele oleh banyak orang. Kuperkenalkan pada kalian, yang lebih tajam dibanding silet, yang mematikan layaknya racun, ampuh membunuh tanpa menyentuh, sesuatu itu bernama Cyberbullying.
Dilansir dari laman UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Fund) menyebutkan bahwa Cyberbullying (perundungan dunia maya) ialah bullying/perundungan dengan menggunakan teknologi digital. Hal ini dapat terjadi di media sosial, platform chatting, platform bermain game, dan ponsel. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Cyberbullying merupakan perilaku berulang yang ditujukan untuk menakuti, membuat marah, atau mempermalukan mereka yang menjadi sasaran. Contohnya termasuk menyebarkan kebohongan tentang seseorang, memposting foto memalukan tentang seseorang di media sosial, mengirim pesan atau ancaman yang menyakitkan dan mengucilkan melalui platform chatting atau kolom komentar, menentang seseorang dalam jajak pendapat yang melecehkan, dan banyak lagi contoh lainnya.
Lantas dari banyaknya contoh di atas, bagaimana bagi mereka (pelaku Cyberbullying) yang bersembunyi dibalik dalih “Kan cuma bercanda,” atau yang lebih parahnya lagi mendikte korban sebagai orang yang baperan (bawa perasaan), “Ah gak asik, kamu terlalu baperan!” Ujar pelaku semakin tidak tahu diri. Pelaku memang biasanya tidak menyadari bahwa yang ia lakukan salah. Mereka menganggap apa yang mereka katakan atau tulis adalah bentuk kebebasan berpendapat. Mereka blak-blakan dengan apapun yang ada dipikirannya. Senjata mereka biasanya adalah “Itu kan memang fakta.”
Padahal yang harus dipahami pelaku adalah bahwa poin penting dalam bercanda adalah tertawa bersama bukan menertawakan seseorang, bahwa setiap orang punya mental yang berbeda dalam menerima sesuatu dan itu bukan berarti baperan, bahwa hak dan kebebasan berpendapat haruslah sesuai tata krama dan tidak menyinggug hak dan martabat orang lain, bahwa berbicara dan menulis bukan hanya soal fakta tapi juga baik atau tidaknya cara penyampaiannya.
Namun sepertinya hal itu masih sukar dimengerti oleh banyak orang. Terbukti dengan semakin melonjaknya kasus cyberbullying. Menurut survei UNICEF U-Report pada tahun 2021 menemukan bahwa sebanyak 45% dari 2777 anak muda usia 14-24 tahun pernah mengalami cyberbullying. Tak jauh berbeda dari hasil riset Digital Civility Index pada Mei 2020 oleh Microsoft yang menyebutkan bahwa dalam urun waktu 1 minggu, sebanyak 24% pengguna internet mengalami perilaku tidak sopan di dunia digital. Angka-angka itu bukan bualan semata, cyberbullying kini menjadi fenomena yang marak terjadi di dunia khusunya Indonesia.
Terlebih perkembangan dunia maya yang ada dengan segala aplikasi dan fitur yang disediakan tidak dimanfaatkan dengan baik dan malah dijadikan ruang lebar untuk bebas melakukan cyberbullying. Sebut saja salah satu contohnya yang ramai di kalangan pengguna media sosial belakangan ini dengan hadirnya fitur bernama NGL (Not Gonna Lie) yang digunakan sebagai ajang QnA (Question and Answer) di mana seseorang akan menerima pesan dari orang lain secara anonim. Awalnya fitur ini digunakan untuk seru-seruan namun lambat laun tak jarang dari pengguna yang terganggu akibat mendapatkan lontaran-lontaran tak mengenakkan melalui fitur ini.
Semakin banyak korban kasus cyberbullying, berarti semakin banyak masyarakat yang mengalami gangguan psikologis, mengingat dampak dari cyberbullying ini. Masih dari laman UNICEF yang memaparkan korban cyberbullying bisa merasa seperti diserang dari mana-mana, bahkan di dalam rumah sendiri. Sepertinya tidak ada jalan untuk keluar. Dampaknya dapat bertahan lama dan memengaruhi korban dalam banyak cara, baik itu mental, emosional, dan fisik. Perasaan ditertawakan atau dilecehkan oleh orang lain dapat membuat seseorang tidak ingin membicarakan atau mengatasi masalah tersebut. Bahkan yang terburuk, cyberbullying dapat menyebabkan korban mengakhiri hidupnya sendiri. Dikutip dari Internet Sehat, ictwatch.com menuliskan, “Bahkan 1 dari 10 korban cyberbullying melakukan tindakan bunuh diri. Dalam setahun, ada sekitar 4500 anak yang mengakhiri nyawanya sendiri.”
Butuh berapa banyak nyawa lagi agar kita semua sadar? Butuh berapa goresan di pergelengan tangan lagi agar kita bisa mengerti? Butuh berapa banyak teman yang perlahan mundur dan hilang dari keramaian? Butuh berapa banyak lagi senyum yang berhasil dicuri akibat jari-jari jahil itu?
Tentu kesadaran berawal dari diri kita sendiri. Cyberbullying bukan kejahatan kecil yang bisa digampangkan. Olehnya itu diharapkan semua pihak dapat berkerja sama dalam mengatasi masalah ini. Pemerintah haruslah menegakkan dan memperbaiki regulasi-regulasi terkait dan menggalakkan pengawasan ketat arus interaksi media sosial. Korban wajib diberi ruang dan dilindungi atas nama Hak Asasi Manusia. Pengguna media sosial harusnya lebih bijak dalam bertindak, bisa menyaring dengan baik apapun yang akan disampaikan dan diunggah di dunia maya. Pada akhirnya, jangan biarkan jemarimu yang menekan keyboard ikut menekan hati orang lain, karena setiap orang memiliki kekurangan, pun kamu.