web analytics
header

Non-Biner : Antara Abnormal dan Peningkatan Standar HAM

Sumber : Freepik

Sumber : Freepik
Sumber : Freepik

Makassar, Eksepsi Online – (6/7) Tim Eksepsi mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi bersama salah satu Dosen Program Studi (Prodi) Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin (FK-UH), Istiana Tajuddin, S.Psi., M.Psi., Psikolog, yang pada (22/8) lalu, untuk membahas tentang non-biner dan keberagaman gender serta identitas seksual di Indonesia.

Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh dosen yang akrab disapa Ibu Isti itu, sebenarnya masyarakat Indonesia telah lama memvalidasi keberagaman gender dan identitas seksual, melalui salah satu kepercayaan yang terdapat pada beberapa kelompok masyarakat suku bugis yaitu bissu.

Menurut Isti, bissu pada dasarnya adalah orang suci yang dianggap sebagai titisan dewa dan memiliki peran yang penting secara kultural, yang perannya tidak terpaku pada satu gender tertentu (feminim maupun maskulin).

Berangkat dari perkembangan keberagaman gender dan identitas seksual masyarakat, saat ini muncul beberapa identitas yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari gender yang dianggap “berbeda”. Salah satunya adalah non-biner atau yang didefinisikan oleh Ibu Isti sebagai queer.

Menurutnya, berdasarkan Panduan Manual Diagnostik Dan Statistik Gangguan Mental, yang merupakan panduan yang digunakan oleh Psikolog atau Psikiater untuk menentukan kriteria gangguan jiwa, mendefinisikan queer sebagai disorientasi.

Queer itu, referensinya adalah bagaimana dia melihat peran gendernya, tapi bukan untuk melihat peran seksualnya. Jadi berbeda yah, jadi bisa saja dia queer tapi dia gay, bisa juga dia queer tapi dia memilih untuk jadi biseksual, jadi sebenarnya ada begitu banyak istilah terhadap orientasi seksual, dan queer berada pada tataran yang berbeda dengan itu,” jelas Isti.

Jika mengacu pada kebebasan yang dimiliki oleh setiap orang melalui Hak Asasi Manusia (HAM), beliau berpendapat, tidak boleh ada anggapan abnormal terhadap mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai queer maupun identitas gender lain. Tetapi, kebebasan seseorang tidak ada yang mutlak, karena kebebasan seseorang dibatasi oleh kewajiban untuk menghormati kebebasan orang lain.

Pembatasan kebebasan tersebut dapat dilihat melalui parameter abnormal yang kemudian menentukan abnormalitas seseorang berdasarkan beberapa standar yaitu:

Statistik Mayoritas Masyarakat

Pada parameter yang pertama ini, kelompok yang termarjinalisasi dapat dikategorikan sebagai abnormal. Sebagaimana anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan sebagai abnormal, begitu pula anak yang jenius juga dapat dikategorikan sebagai abnormal.

Norma Masyarakat

Berdasarkan norma yang berkembang di masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia, ada beberapa kebiasaan yang dianggap tidak normal. Tetapi, mungkin saja ditempat lain dianggap sebagai sesuatu yang normal. Pada dasarnya, melihat bagaimana kebiasaan dan budaya yang ada di suatu tempat menghendaki perilaku tertentu.

Level Kesejahteraan

Melihat dari perilaku seseorang dan implikasinya terhadap fungsi-fungsi kehidupannya. Apabila kesejahteraan hidupnya terganggu akibat pilihan perilakunya, maka orang tersebut dapat dikategorikan sebagai abnormal.

“Berdasarkan parameter tersebut, orang yang tidak berada pada standar normal, dapat dikategorikan sebagai abnormal. Nah, pertanyaannya, bagaimana sikap kita?” tuturnya pada kru eksepsi.

Ia juga menegaskan, pilihan identitas seseorang, jika itu masuk pada kategori abnormal berdasarkan parameter di atas, hanya bisa kembali normal apabila orang tersebut menghendaki dirinya untuk menyesuaikan diri dengan parameter yang ada di masyarakat. Jadi sebenarnya tidak ada yang berhak menghakimi seseorang berdasarkan pilihannya karena dia mengidentifikasi hal tersebut sebagai sesuatu yang benar.

Pada kesempatan yang berbeda, Tim Eksepsi juga melakukan diskusi bersama Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara, Dr. Romi Librayanto, S.H., M.H., terkait isu non-biner ini.

Menurut Romi, ruang publik diramaikan dengan opini dan persepsi masing-masing mengenai isu ini. Padahal permasalahan utama ada pada ketidaktahuan masyarakat tentang perbedaan antara jenis kelamin, gender, dan orientasi seksual.

“Pro dan kontra di masyarakat terkait isu ini, harus diluruskan terlebih dahulu. Kita pro maupun kontra pada pemikirannya atau perbuatannya,” terang dosen yang akrab disapa Pak Dr. Romi itu.

Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, memang belum ada peraturan yang secara eksplisit mengakomodir keberagaman gender dan identitas seksual. Namun, menurutnya, belum diatur bukan berarti larangan terhadap paham maupun pemikiran.

Bahkan ia menambahkan, perdebatan yang hadir setelah isu gender ini naik ke permukaan, adalah perdebatan yang seharusnya menjadi proses pendewasaan dan peningkatan standar HAM di Indonesia. Karena saat ini, seiring dengan perkembangan zaman, penghakiman terhadap paham maupun pemikiran seseorang adalah sesuatu yang bertentang dengan Hak Asasi Manusia.

“Dulu itu, menjadikan seseorang sebagai ikon dari sesuatu berdasarkan anatomi tubuh, sikap maupun perilaku adalah hal yang biasa, bahkan dianggap sebagai sebuah candaan. Tapi saat ini berbeda, seiring berkembangnya zaman, candaan mulai punya batasan. Itu yang benar itu, harus disadari, perdebatan jangan jadi ajang main hakim-hakiman, perdebatan harus jadi momen dimana kita menyadari dan mensyukuri bahwa standar HAM kita sudah mulai meningkat,” jelas Dr. Romi.

Adapun masyarakat yang beranggapan bahwa pemikiran yang bertentangan dengan norma masyarakat harus dikekang untuk tidak berkembang, atau yang dalam istilah psikologi disebut sebagai abnormalitas, adalah perbuatan yang jelas melanggar HAM.

“Kalau ada orang yang cabul dalam pemikirannya, anda tidak bisa menghukum seseorang atas apa yang ada dipikirannya. Perbuatan cabul nya yang bisa dipidana. Kan sama saja dengan isu ini, ada orang-orang yang memilih identitas yang berbeda dengan orang lain, lantas apakah karena itu kita bisa memberikan perlakuan diskriminatif atau penghakiman terhadap mereka? Kan tidak,” tegas Romi.

Menutup diskusi dengan tim eksepsi, Dr. Romi memberikan pernyataan terkait isu ini.

“Jika mau dilihat dari perspektif hukumnya, kan sama saja orang-orang yang melakukan perbuatan cabul di depan umum. Mau itu sesama jenis ataupun itu berbeda jenis. Tapi kan ini hal berbeda, ini berada pada tataran peran gendernya, bukan orientasi seksualnya. Tapi untuk kasus kemarin berbeda, masih belum jelas pemahaman antara kedua belah pihak mengenai pertanyaan dan pernyataan tentang gender, orientasi seksual, maupun jenis kelamin”. (aim)

 

Related posts: