Oleh: Aunistri Rahima MR
(Pengurus LPMH Periode 2022-2023)
Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembali dirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnya bisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan dengan paksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahan yang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggut sumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasil manisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan?
Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawat dengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusak tanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagi para petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraan yang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan.
Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekali tidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakan hanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hingga pengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kah bentuk sejahtera yang dijanjikan?
Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahit pabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memang sudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi ingin merampas dan menjadikannya lahan tambahan untuk mendirikan pabrik gula.
Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagi hanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugi atas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahan yang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupun Bupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakan sebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara warga polongbangkeng dan PT. PN XIV Takalar, yang nyatanya sudah berlangsung sejak lama.
*Opini ini tidak mewakili pandangan redaksi Eksepsi