Oleh: Muhammad Rizqi Ardian (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024)
Transformasi Perguruan Tinggi Negri (PTN) menjadi perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) yang didasari dari terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi merupakan langkah signifikan dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan, perubahan ini, PTN memiliki otonomi lebih besar dalam mengelola keuangan dan sumber daya mereka tanpa ada campur tangan pemerintah ataupun Kemendikbud. Namun, di balik kebijakan yang tampak menjanjikan ini, ada kekhawatiran serius bahwa kapitalisme sedang menyusup di baliknya.
Namun tidak semua PTN dapat memperoleh status PTN-BH dengan mudah, dikarenakan PTN yang ingin mendapatkan status PTN-BH harus melalui proses yang panjang dan tidak. PTN di Indonesia banyak yang ingin mendapatkan status PTN-BH karena dapat meningkatkan reputasinya serta manfaatnya seperti pemberian otonomi finansial yang memungkinkan universitas untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dimana dengan kebebasan tersebut universitas dapat menentukan biaya kuliah dan sumber pendapatan lainnya, sehingga PTN-BH dapat meningkatkan fasilitas, kualitas pengajaran, dan penelitian.
Sejak awal kemunculan PTN-BH terdapat pro kontra, dimana kebebasan mengelola dan menentukan sumber dana pemasukan menjadi salah satu manfaat dari PTN-BH yang paling rawan disalah gunakan oleh beberapa oknum yang ada di PTN-BH. Namun sekarang banyak yang menganggap PTN-BH sudah memiliki karakteristik yang lebih mengarah ke industri komersil sehingga banyak yang menganggap nilai-nilai orientasi pendidikan mulai menurun. Salah satu cara meningkatkan pendapatan PTN-BH yang paling mudah adalah dengan menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Penetapan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 2 Tahun 2024 tentang Aturan Uang Kuliah Tunggal membuat publik panas khususnya para calon mahasiswa baru, yang menganggap peraturan tersebut membuat biaya kuliah naik.
Kebebasan pihak PTN-BH dalam membuka dan menutup jurusan serta menentukan jumlah kuota jumlah kelas berdasarkan kebutuhan pasar menjadi salah satu potensi terjadinya kapitalisme, dimana banyak PTN-BH yang menambah kelas tanpa dibarengi penambahan dosen/tenaga pengajar dan fasilitas sehingga berisiko dengan menurunkan kualitas pendidikan.
Sebagai contoh salah satu Universitas yang menaikkan Biaya Kuliahnya menyusul penetapan Permendikbud No.2 Tahun 2024 yaitu Universitas Brawijaya yang awalnya hanya 23juta per semester naik menjadi sekitar 33jt per semester. Untuk di Universitas Hasanuddin sendiri ada perubahan dengan menambahkan 1 golongan kelompok UKT dari yang awalnya hanya terdapat 8 kelompok kemudian menjadi 9 kelompok, ada perubahan pada kelompok UKT 1 pada tahun 2024, dimana jumlah yang harus dibayarkan naik menjadi Rp500.000 dari yang sebelumnya Rp0.
Sehingga banyak yang berpendapat bahwa PTN-BH sudah tidak dapat dibedakan dengan Perguruan Tinggi Swasta, sehingga peran pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan. Dalam hal ini negara perlu hadir untuk membantu dan menjawab permasalahan masyarakat yang mengeluhkan bahwa pendidikan tinggi sudah menjadi eksklusif bagi orang-orang yang memiliki uang saja, sedangkan orang-orang yang kurang mampu pendidikan hanyalah pilihan akhir atau kebutuhan primer saja. Sehingga dalam hal ini negara harus bertindak dengan cepat agar masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi bisa melanjutkan pendidikan tinggi yang di inginkan tanpa memikirkan beban dari UKT.