web analytics
header

Dilema Frasa “Atas Izin Jaksa Agung”

Sumber: PTSP Kejaksaan

Oleh: Alif Ahmad Fauzan (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)

A. Pendahuluan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 adalah perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Di dalamnya terdapat beberapa revisi terhadap kalimat dan penambahan pasal. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021, sebagaimana telah disebutkan di atas, merupakan undang-undang yang mengatur tentang kejaksaan.

Kejaksaan, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Pasal 1 Angka 2 , adalah “lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.” Selain penuntutan, kewenangan kejaksaan adalah melaksanakan penyidikan dan pengawasan yang meluas di berbagai lingkup, tidak hanya lingkup pidana, tetapi juga perdata, yang lebih jelasnya terdapat dalam Undang-Undang ini Pasal 1 Angka 28.

Tidak hanya definisi dan kewenangan, tetapi juga selain yang tertulis di atas, undang-undang ini mengatur perlindungan terhadap lembaga kejaksaan. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 1 Angka 11 (Pasal 8 Ayat 5) undang-undang ini, yang merupakan perubahan atas Pasal 8 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, yang berbunyi: “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.”

Pasal ini menurut penulis adalah kontroversial. Mengapa?

B. Hak Imunitas Kejaksaan

Berbagai tugas dan kewenangan yang dimandatkan kepada kejaksaan tidak serta-merta membuat kejaksaan menjadi mudah dalam memberantas berbagai kejahatan atau tindak pidana. Di balik itu, terselip risiko pekerjaan yang harus ditanggung oleh seorang jaksa. Salah satu risiko pekerjaan yang berpotensi terjadi pada seorang jaksa adalah upaya kriminalisasi.

Sebagai contoh, seorang jaksa yang sedang menangani kasus besar yang dilakukan oleh pejabat negara dan menyita perhatian publik. Dalam hal ini, seorang pejabat negara yang terkena kasus tersebut tentunya akan melakukan tindakan yang mampu menutupi atau melepaskan dirinya dari jeratan delik. Tidak menutup kemungkinan bahwa ia juga akan berupaya melakukan kriminalisasi terhadap aparat yang menangani kasusnya. Mengingat bahwa ia adalah seorang pejabat yang mestinya memiliki relasi tertentu sebagai ‘backing’-nya, maka potensi kriminalisasi semakin besar. Kriminalisasi sebagai risiko pekerjaan tentunya menjadi tantangan bagi kejaksaan dalam menuntaskan berbagai kasus yang merugikan negara, terlebih lagi bila kasus tersebut merupakan kasus besar.

Sebagai upaya untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan norma yang mampu melindungi seorang jaksa ketika sedang melaksanakan tugasnya. Hal ini diatur dalam Undang-Undang tentang Kejaksaan, tepatnya pada pasal yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Selain itu, Pasal 1 Angka 11 (Pasal 8 Ayat 5) juga merupakan perwujudan dari hak imunitas yang dimiliki oleh lembaga kejaksaan. Hak imunitas berarti kekebalan terhadap yurisdiksi hukum sehingga suatu lembaga dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tidak dapat dituntut dan memiliki kekebalan terhadap hukum.

C. Antara Imunitas dan Imortalitas

Pasal 1 Angka 11 (Pasal 8 Ayat 5), setelah dijelaskan secara sekilas, tampak baik. Namun, jika ditelaah lebih mendalam, pasal ini mengandung beberapa kelemahan atau kecacatan. Frasa “atas izin Jaksa Agung” berarti bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan Jaksa Agung. Jika makna frasa ini diperluas, maka kewenangan sepenuhnya berada di tangan Jaksa Agung untuk menentukan apakah izin tersebut diberikan atau tidak.

Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Di satu sisi, tidak ada prosedur atau mekanisme lain yang mengatur proses hukum terhadap jaksa selain pasal ini. Di sisi lain, masyarakat atau pihak yang berkepentingan tidak memiliki kepastian kapan Jaksa Agung akan memberikan izin untuk melaksanakan proses hukum terhadap seorang jaksa.

Lebih lanjut, sebagai konsekuensi logis, hal ini juga menciptakan ketidakseimbangan dalam penegakan hukum. Di satu sisi, kejaksaan memiliki kewenangan luas untuk melakukan penyidikan, pengawasan, dan penuntutan terhadap berbagai instansi atau pihak lain. Namun, di sisi lain, proses hukum terhadap kejaksaan sendiri menjadi sangat sulit, bahkan cenderung mustahil untuk dilakukan.

Norma tersebut di sisi lain menunjukkan adanya pemusatan kewenangan di tangan Jaksa Agung. Pemusatan kewenangan ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang serta praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Dengan kata lain, norma ini dapat menjadi celah bagi Jaksa Agung untuk melindungi jaksa tertentu dari jeratan hukum, terutama jika ada kepentingan politik atau kepentingan pribadi yang terlibat.

D. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa norma ini memiliki beberapa konsekuensi negatif yang tentunya tidak boleh dibiarkan begitu saja. Namun, di sisi lain, persoalan hak imunitas kejaksaan juga tidak dapat kita abaikan. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk memperjelas frasa “atas izin Jaksa Agung” melalui penafsiran atau pembentukan mekanisme alternatif yang dapat memberikan acuan yang jelas, baik kepada Jaksa Agung maupun kepada pihak-pihak lain terkait ketentuan dan prosedur dalam pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa.

Related posts:

AI Membunuh Berpikir Kritis

Oleh: Muhammad Thariq Zakwan (Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas) Belakangan ini, sedang hangat diperbincangkan di media sosial mengenai tren “Gambar Ghibli”,