Oleh: Hikam Saleh (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
Sebagai mahasiswa, kami telah memenuhi kewajiban utama kami di awal setiap semester, yaitu dengan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) tepat waktu. Jumlahnya tidak sedikit, dan bagi sebagian besar dari kami, uang tersebut merupakan hasil jerih payah orang tua, beasiswa yang kami perjuangkan, atau bahkan pinjaman pendidikan. Kami memahami bahwa pendidikan adalah sebuah investasi, dan kami siap menunaikan kewajiban yang tercantum dalam kontrak perjanjian antara mahasiswa dan institusi pendidikan.
Namun, pertanyaannya adalah bagaimana dengan hak kami sebagai mahasiswa? Di banyak kesempatan, kami justru merasa diabaikan. Dosen yang seharusnya hadir untuk mengajar, membimbing, dan memberikan ilmu, sering kali absen tanpa kejelasan. Jadwal kuliah yang kosong, perkuliahan yang digantikan dengan “silakan baca sendiri”, serta nilai yang tiba-tiba muncul tanpa adanya proses evaluasi yang transparan semakin memperburuk keadaan. Kami merasa seperti membayar untuk layanan penuh, namun hanya menerima sebagian kecil dari yang seharusnya kami dapatkan.
Ketika pertanggungjawaban atas hak-hak pendidikan kami diabaikan, lalu kepada siapa kami harus bersuara? Di saat kampus menuntut kedisiplinan dari mahasiswa, adakah standar yang sama diberlakukan pada pengajar? Apakah pengajar memiliki tanggung jawab yang setara dengan kami dalam menjalankan tugas dan kewajiban mereka?
Bentuk pertanggungjawaban yang kami terima hanyalah sebatas permintaan maaf dengan alasan jadwal yang bertabrakan dengan kelas lain. Sekelas kampus terbaik, apakah masih ada cacat administrasi dalam penyusunan jadwal pembelajaran? Ataukah ada faktor internal dari tim pengajar yang menyebabkan ketidakhadiran mereka? Segalanya digantungkan pada kesamaran yang tak dapat disamarkan.
Kami tidak menuntut lebih dari yang seharusnya. Kami hanya menginginkan keseimbangan antara kewajiban dan hak. Jika kami membayar, kami berhak mendapatkan layanan pendidikan yang layak. Ketidakhadiran dosen bukan hanya soal bolos, tetapi juga soal hilangnya kesempatan belajar yang tidak dapat digantikan. Semoga ke depan, pendidikan tidak hanya dipandang sebagai formalitas administratif, tetapi sebagai amanah moral yang harus dijaga oleh semua pihak, terutama oleh mereka yang diberi kehormatan untuk mengajar.