web analytics
header

Jagal – The Act of Killing: Merah Berdarah di Tangan Pemuda Lima Sila

Sumber: pojokseni.com

Oleh: Jellian (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024)

1965-1966 adalah masa yang paling suram dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Gejolak politik pasca G30S menjadikan PKI sebagai kambing hitam dalam peristiwa tersebut. Estimasi lima ratus ribu sampai satu juta orang dibantai sebagai aksi “pembersihan” terhadap segala aktivitas yang berbau Komunisme. Adapun Sebagian besar aksi ini dilakukan oleh kelompok milisi dan preman, salah satunya adalah Pemuda Pancasila (PP).

Film Jagal (judul internasional: The Act of Killing) adalah sebuah film dokumenter yang dirilis pada tahun 2012 dan disutradarai oleh Joshua Oppenheimer. Dokumenter ini dikenal luas karena pendekatan uniknya dalam mengungkap peristiwa pembantaian massal di Indonesia pada tahun 1965-1966.

Film ini berfokus pada kehidupan Anwar Congo di masa tuanya, seorang tetua PP yang pernah terlibat langsung dalam peristiwa berdarah tersebut.

Melalui dokumenter ini, Anwar dan rekan-rekannya yang juga terlibat dalam pembunuhan, menceritakan serta merekonstruksi adegan-adegan kekerasan yang mereka lakukan, seolah sedang membuat sebuah film. Yang mengejutkan, mereka menunjukkan kebanggaan atas tindakan tersebut, menganggapnya sebagai sesuatu yang sah dan benar, tanpa rasa bersalah.

Siapa Anwar Congo, dan Apa kaitannya dengan Pemuda Pancasila?

Pemuda Pancasila adalah organisasi massa yang didirikan pada tahun 1959, dengan tujuan mendukung dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Seiring berjalannya waktu, PP menjadi lebih dikenal sebagai ormas yang terlibat dalam politik praktis dan memiliki pengaruh di berbagai sektor, termasuk dalam dunia bisnis dan pemerintahan.

Terkait dengan Anwar Congo, Ia merupakan seorang “sepuh” dari organisasi yang terkenal memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok yang terlibat dalam kekerasan politik dan pembunuhan pasca-G30S di wilayah Sumatera Utara ini. PP pada masa itu dikenal memiliki kedekatan dengan militer dan terlibat dalam berbagai tindakan kekerasan yang menargetkan orang-orang yang diduga terkait dengan PKI.

Di masa mudanya, Anwar dan preman-premannya menghabiskan waktu di bioskop, yang menjadi tempat mereka beroperasi. Mereka dikenal sebagai preman bioskop yang menguasai pasar karcis gelap dan menjadikan bioskop sebagai pusat kegiatan kriminal, di mana melibatkan kejahatan-kejahatan yang serius.

Pada tahun 1965, Tentara Nasional Indonesia (TNI) merekrut mereka untuk membentuk sebuah pasukan pembunuh, karena mereka dianggap telah menunjukkan kemampuan dalam kekerasan dan memiliki kebencian terhadap komunis yang berusaha menggagalkan pemutaran film-film Amerika yang sangat populer dan menguntungkan.

Anwar dan teman-temannya sangat terpesona oleh aktor-aktor Hollywood seperti James Dean, John Wayne, dan Victor Mature. Mereka meniru gaya berpakaian dan cara bertindak karakter-karakter di film, bahkan mengadopsi metode kekerasan yang sama dengan yang mereka lihat di layar.

Setelah menyaksikan pertunjukan film tengah malam, mereka merasa seolah-olah baru saja keluar dari layar perak, seperti karakter gangster dalam film. Terpengaruh oleh atmosfer tersebut, mereka menyeberang ke kantor dan melaksanakan eksekusi terhadap tahanan yang telah ditentukan sebagai sasaran mereka setiap malam. Anwar, yang terinspirasi oleh film-film mafia, memilih menggunakan kawat untuk membunuh korban-korbannya.

Selain dari bantuan militer, perbuatan Anwar Congo tidak dapat dipisahkan dari organisasi PP, yang menjadi tempat bernaungnya. Sejak didirikan pada 1959, PP merupakan organisasi semi-militer yang turut berperan dalam penumpasan PKI pasca-peristiwa G30S.

Sebagai organisasi yang mengusung gaya semi-militer, penumpasan yang dilakukan oleh PP menggabungkan kekerasan yang dipicu oleh arogansi aparat “bersenjata” dengan kesewenang-wenangan terhadap masyarakat. Akibatnya, kelompok militer saat itu mendapatkan “dukungan” besar dari tindakan berdarah yang dilakukan oleh PP, yang semakin memperburuk situasi dan kekerasan yang melanda Indonesia pada masa tersebut.

Kejeniusan Joshua Oppenheimer Dalam Mengemas Film Jagal

Sutradara Joshua Oppenheimer menggunakan pendekatan yang ciamik dalam membuat film dokumenter ini, dengan cara yang sangat memanipulasi persepsi Anwar Congo. Ia membujuk Anwar untuk percaya bahwa film ini akan membahas penumpasan PKI, dengan konsekuensi bahwa Anwar harus memeragakan kembali pembunuhan-pembunuhan yang dia lakukan terhadap orang-orang yang dianggap simpatisan PKI. Hati nurani Anwar Congo dalam The Act of Killing tampak terguncang dan terbelah, meskipun ia semula tidak menunjukkan penyesalan yang jelas atas perbuatannya. Sepanjang film, terlihat bagaimana Anwar secara terbuka mengisahkan kekerasan yang telah dilakukannya terhadap orang-orang yang dianggap simpatisan PKI, bahkan dengan rasa bangga dan tanpa menunjukkan rasa bersalah yang besar.

Di akhir film, ada perubahan signifikan dalam sikap Anwar, yang muncul dalam ucapannya, “Apa dosa sama saya? Banyak, ya, Josh, manusia yang pernah saya bikin gitu, Josh. Apa dia ini kembali kepada saya? Mudah-mudahan jangan sampe. Jangan. Ngga mau saya, Josh, yang beginian, Josh.”

Ini memperlihatkan bagaimana hati anwar mulai tergerak, seiring dengan proses rekonstruksi pembunuhan yang dia lakukan, sesuatu yang tidak dapat lagi ia hindari. Penyesalan itu tampak bukan karena takut akan hukuman, tetapi lebih kepada kesadaran bahwa kekerasan yang ia lakukan telah meninggalkan luka yang tidak hanya pada korban, tetapi juga pada dirinya sendiri. Ia mulai mempertanyakan apakah perbuatannya akan kembali kepadanya, memperlihatkan bagaimana rasa takut atau cemas itu muncul alih-alih kebanggaan yang sebelumnya ia rasakan.

Pengambilan adegan dalam Jagal sangat menarik dan penuh nuansa. Sutradara Joshua berhasil menggabungkan atmosfer yang ramai dengan perasaan terasing, menciptakan momen-momen yang unik meski kadang terasa aneh, dan juga menyelipkan komedi ringan yang agak tidak biasa, seperti beberapa adegan penari di perbukitan yang berfungsi sebagai transisi antara satu scene dengan scene lainnya.

Meskipun film ini mengangkat tema pembunuhan massal yang terjadi pada tahun 1965-1966, narasi ditampilkan dari sudut pandang seorang pembunuh, sehingga banyak adegan yang terasa menyesakkan dan penuh keterbatasan, di mana terang tampak ruang gerak emosional dan fisik yang terbatas.

Poin yang menarik lainnya kemudian adalah pengungkapan bahwa teknik-teknik pembunuhan yang dilakukan oleh Anwar, seperti yang telah dibahas sebelumnya terinspirasi langsung dari film aksi Hollywood, memberi gambaran tentang bagaimana budaya populer, terutama film, membentuk cara pandang dan perilaku kekerasan politik pada masa itu.

Joshua Oppenheimer juga membuat film dokumenter lainnya yang berjudul Senyap (judul internasional: The Look of Silence) pada tahun 2015, yang menjadi sekuel dari Jagal (The Act of Killing). Senyap lebih fokus pada sisi korban dalam tragedi pembantaian massal tersebut.

Alih-alih Jagal yang mengungkapkan perspektif dari para pelaku kekerasan, Senyap sendiri lebih berfokus kepada mereka yang selamat dan keluarga dari korban yang dibunuh dalam kekerasan tersebut.

Related posts:

Kiamat!! Kita Semua (Harus) Mati!

Resensi Film Silent Night (2021) Oleh: Muhammad Abi Dzarr Al Ghiffariy (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Bayangkan, suatu hari pemerintah mengumumkan