Oleh: Andi Nur Muthahhirin AZ (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
“Mereka berebut kuasa, mereka menenteng senjata, mereka menembak rakyat, tetapi kemudian bersembunyi dibalik ketek kekuasaan. Apakah kita biarkan orang-orang pengecut itu tetap gagah? Saya kira tidak, mereka gagah untuk gagal, mereka hanya ada di baju tetapi dalam tubuh mereka adalah suatu kehinaan, sesuatu yang tidak bertanggung jawab, yang mereka akan bayar sampai di manapun.”
Narasi tersebut merupakan seruan lantang dari Munir Said Thalib, seorang aktivis hak asasi manusia Indonesia, yang mengecam aparatur negara yang semestinya menjadi garda terdepan dalam menjaga dan mengayomi masyarakat, tetapi dalam realitas justru menindas rakyat yang memperjuangkan hak-haknya. Kritiknya mencerminkan realitas kelam ketidakadilan, di mana impunitas terus mengakar, sementara keadilan menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan dengan pengorbanan besar.
Sejak awal mencuatnya polemik hingga hari ini, masyarakat dihadapkan pada realitas yang tidak pernah diidamkan, yakni lahirnya regulasi yang berpotensi mengikat setiap individu secara represif. Disahkannya Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi titik balik yang menimbulkan kekhawatiran mendalam terhadap masa depan demokrasi di Indonesia. Substansi regulasi ini memungkinkan prajurit aktif TNI untuk menduduki jabatan pemerintahan sipil, serta memperoleh kewenangan di ranah digital tanpa adanya patokan yang jelas. Implikasi dari ketidakjelasan aturan ini membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan, menciptakan ruang bagi otoritarianisme yang dapat menggerus hak asasi manusia dan membungkam kritik publik.
Kekuatan terbesar yang lebih dari itu dan menyelimuti publik adalah potensi kembalinya dwifungsi ABRI, sebagaimana yang terjadi pada era Orde Baru, di mana militer memiliki dominasi dalam ranah sipil dan politik. Dengan demikian, UU TNI yang disahkan pada Jumat, 23 Maret ini menuai kritik tajam dan dianggap sebagai preseden buruk bagi tatanan demokrasi di Indonesia. Gelombang demonstrasi yang merebak di berbagai daerah menjadi sebuah penolakan terhadap regulasi ini, menunjukkan bahwa rakyat tidak akan memilih untuk diam atau tunduk dalam ketakutan atas ancaman kemunduran demokrasi yang dihadirkan oleh kebijakan tersebut.
Gelombang massa yang tak terbendung, teriakan lantang “Hidup rakyat Indonesia!”, serta orasi penuh semangat dalam membela hak-hak masyarakat menggema di berbagai daerah. Aksi demonstrasi mencerminkan partisipasi aktif warga negara dalam demokrasi yang justru dihadapkan pada respons represif dari aparatur keamanan yang seharusnya mengayomi dan melindungi dalam upaya pengamanan terhadap tempat yang menjadi objek demonstrasi. Ironisnya, institusi kepolisian yang semestinya berperan sebagai penjaga ketertiban publik dengan pendekatan persuasif dan negosiasi, justru berkali-kali menunjukkan abuse of power dengan tindakan kekerasan yang tidak berimbang. Pukulan demi pukulan dilayangkan kepada massa demonstrasi yang hanya bermodalkan tekad dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran. Darah pun menetes, tubuh-tubuh tak berdaya jatuh menyusul hantaman yang tak henti-hentinya datang dari mereka yang disebut “pengayom masyarakat”.
Fenomena ini menampilkan paradoks dalam sistem penegakan hukum, di mana aparat yang seharusnya berdiri di garda terdepan dalam melindungi hak-hak sipil, justru menjadi alat represi bagi mereka yang berani bersuara. Maka, pertanyaannya, masihkah kita bisa menyebut ini sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi?
Sebuah video pendek yang diunggah oleh akun Instagram @solidaritasantipenyiksaan pada Jumat, 21 Maret 2025, menjadi dokumentasi atas brutalisme aparat kepolisian dalam menangani aksi demonstrasi. Dalam rekaman tersebut, terlihat jelas seorang pria dikepung oleh beberapa polisi berseragam lengkap, lalu dihantam bertubi-tubi dengan pukulan tangan dan tongkat kayu yang disertai penjabakkan rambut tanpa belas kasih. Aksi represif ini mencerminkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Adapun dalam video lain yang diunggah di akun yang sama, terekam aksi dorongan untuk membubarkan massa demonstran yang dipaksa mundur oleh barisan aparat kepolisian. Ironisnya, tindakan ini tidak hanya berupa pembubaran, tetapi juga disertai dengan pukulan brutal menggunakan tongkat kayu yang menjadi simbol dominasi represif. Deskripsi dalam unggahan tersebut mengungkapkan bahwa akibat tindakan represif ini, belasan demonstran mengalami luka-luka. Hal ini mencerminkan betapa penindasan terhadap kebebasan berpendapat masih menjadi praktik sistematis di negeri ini.
Serangkaian tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian dalam menertibkan massa aksi demonstrasi telah menunjukkan penyalahgunaan kewenangan yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, khususnya dalam Pasal 7, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia. Namun, lagi dan lagi das sein dan das sollen berbanding terbalik. Pada kenyataannya, aksi demonstrasi direspons dengan brutalisme struktural.
Darah yang menetes, luka yang menganga, dan pukulan demi pukulan yang dilayangkan tanpa rasa bersalah menjadi potret nyata kesewenang-wenangan. Ketidakadilan ini pun melahirkan narasi perlawanan dalam bentuk slogan “All Cops Are Bastards” (ACAB) atau 1312, sebagai ekspresi kekecewaan dan ketidakpercayaan publik terhadap aparat yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan keadilan, bukan justru menjadi pelaku penindasan.
Alih-alih mendapatkan respons dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku representasi suara rakyat, demonstran justru dihadapkan pada kekerasan terorganisir. Jika prinsip Vox Populi, Vox Dei – Suara Rakyat adalah Suara Tuhan, masih dijadikan pijakan dalam sistem demokrasi, maka kondisi saat ini menegaskan bahwa demokrasi telah mengalami degradasi akut. Negara yang seharusnya berlandaskan kedaulatan rakyat kini justru membungkam aspirasi, mempertanyakan apakah rakyat benar-benar masih menjadi pemegang kekuasaan tertinggi, ataukah demokrasi telah beralih menjadi sekadar ilusi dalam sistem otoritarian terselubung.
Dalam opini yang bebas dan merdeka ini, penulis ingin menyoroti kekecewaan mendalam terhadap institusi kepolisian dalam menjalankan kewenangannya dalam menertibkan dan mengamankan aksi demonstrasi. Di negara yang berlandaskan kedaulatan rakyat, masyarakat memiliki hak konstitusional untuk menyuarakan aspirasi. Namun, alih-alih mengawal berekspresi, aparat kepolisian justru bertransformasi menjadi instrumen represi yang membungkam suara rakyat. Apabila kemudian aparat yang seharusnya melindungi dan memfasilitasi kebebasan berpendapat pada akhirnya menjadi penghalang, maka yang terjadi bukan lagi negara hukum yang demokratis, melainkan sekali lagi adalah otoritarianisme terselubung.
“Bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam.”
-Widji Thukul