web analytics
header

Jati Diri Sang Dermawan Misterius

Oleh: Ramli
M
asih seperti kemarin, terik mentari menerpa punggungnya yang membungkuk menatap bayangannya, mengikuti jalur langkahnya itu setiap hari. Sampai pada pertengahan jalan ia berhenti, meski baru hari ini, panas mentari diresapinya menjadi energi sesampai di perempatan jalan. Tetap saja riang bersama teman-teman sebayanya, meski bukan untuk bermain di tempat yang sebenarnya kejam seperti itu. Dia tidak pernah membayangkan itu adalah kebiasaan, terlebih sang ibu melarangnya menggocok kaleng susu bubuk berisi recehan di pinggir jalan. Ini adalah kegiatan barunya, terpaksa karena telapak sepatunya telah bocor dikikis aspal panas selama tiga tahun ia menapaki jalurnya antara kelas dan gubuk kontrakan.
Lampu merah telah menyala, hanya beberapa detik saja hingga ia sampai keseberang jalan. Meniru temannya, mendekati mobil-mobil mewah lalu menyanyikan lagu dengan suara lantang, diiringi suara recehan miliknya dalam kaleng yang ia goyangkan sesekali. Tetap bernyanyi meski tak terlihat raut wajah sang pengemudi, di kaca mobil hanya terpantul bayangan dirinya, seorang anak berseragam sekolah dasar.  Dia telah sampai di sebarang jalan ketika lampu hijau telah menyala, namun ternyata tak ada seorang pun yang sudi menambah recahannya, atau sekadar menurunkan kaca jendela mobilnya. Tinggal  menunggu lagi dalam beberapa detik, hingga lampu merah memberikannya kesempatan untuk kembali menggelindingkan recehan dalam kaleng menuju pertengahan antarjalur yang teduh.
Kali ini ia lama berdiri disamping mobil sedan berwarna merah, meskipun kaca terlalu gelap untuk memastikan apakah raut muka penghuni mobil simpati kepadanya, juga tidak ada celah masuk bagi suara cemprengnya ke dalam mobil untuk menyampaikan keinginannya. Harapannya seakan terwujud, perlahan kaca jendela mobil mulai merendah, meninggikan pengharapan yang sedari tadi tak terwujud. Terlihat jelas sang sopir bergerak menerka bagian saku celananya, meski tetap wajah lelaki berdasi itu tidak dipalingkan ke harun yang kumal, namun sepertinya ia akan menjadi pengisi pertama celengan.
“Harun, awas kamu yah! Mama kan sudah bilang jangan mengamen, kamu tidak dengar yah? Suara lantang seorang wanita dari sebarang jalan.
Tanpa ada kata yang terucap, ia menoleh dengan raut wajah yang kesal. Lampu merah telah menyala, bukan lagi kesempatan untuk berusaha mewujudkan sepatu barunya, hanya menjadi kesempatan sang ibu bergegas menjemputnya di pertengahan antarjalur. Seketika pergelangan tangan kanan Harun digenggam sang ibu lalu menuntunnya ke arah menuju rumah. Harun menghempaskan tangannya secara kuat, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman sang ibu, hanya untuk menunjukkan ketidaksenangannya secara sopan. Dia tetap menaruh perhatian pada harapan yang hampir terwujud, menyesalkan kedatangan ibunya terlalu cepat beberapa detik saja. Meski melangkah menjauh, ia tak memalingkan pandangannya dari wajah pengemudi itu, yang ternyata juga memandanginya secara serius dengan raut wajah penuh tanya, dimulai saat ibunya datang menjemput.
    “Cukuplah yang telah berlalu! Kamu jangan ngamen lagi yah, Ibu takut terjadi apa-apa dengan kamu di jalan raya. Ibu hanya ingin kita berdua baik-baik saja, meskipun dalam kehidupan yang jauh dari cukup. Tak perlu mencari kemewahan jika itu hanya akan membuat kita berpisah, karena kebersman dalam cinta lebih berharga daripada kemewahan,” pesan sang Ibu kepada Harun di sisa perjalanan ke rumah.
********************************************
Masih seperti pagi kemarin, Harun beranjak meninggalkan rumah yang kosong, melalui trotoar menuju sekolah. Dia tidak pernah melakukan prosesi salaman sebelum berangkat ke sekolah, tak ada seseorang pun untuk berpamitan. Memang setelah menyiapkan makanan sarapan, setiap pagi-pagi sekali ibunnya menyusuri lorong-lorong perumahan yang padat untuk menjajakan sayur jualannya. Dia juga tidak mengenal ayahnya,  jauh sejak ia sadar dan mulai bertanya mengapa teman-temannya punya sosok yang disebut ayah sedangkan ia tidak. Jika ia bertanya mengenai keberadaan ayahnya, sang ibu hanya mengatakan sang ayah telah pergi.
Perjalanan pagi itu sangat berbeda dangan kemarin, karena tidak sanggup lagi mengenakan sepatu beralaskan telapak kaki, Harun memutuskan menggunakan sendal. Sesampainya di sekolah yang merupakan sekolah negeri unggulan, ia merasa sangat aneh, berbeda dengan teman temannya yang mengenakan sepatu.
“Harun Rahman, kok kamu tidak pake sepatu?” Tanya ibu guru setelah para siswa dipersilahkan masuk kelas secara berbaris.
Harun hanya menunduk, tak sanggup menatap mata sang guru. “Maaf Bu, sepatuku kehujanan tadi malam.” Itulah yang ia katakan, sekadar mencari alasan pembenar atas ketidakpatuhan yang terpaksa ia lakukan, juga agar ia dibolehkan mengikuti kegiatan belajar di kelas.
Selepas jam pelajaran berakhir, dia kembali menapaki jejak yang dia lalui tadi pagi. Masih seperti kemarin, sesampainya pada perempatan jalan, ia tetap melanjutkan pekerjaan barunya kemarin. Entah bagaimana reaksi ibunya jika dia mengetahui, harun tidak peduli, setidaknya beginilah cara ia menyayangi ibunya. Dia sangat berharap niat baik lelaki kemarin tersampaikan, tapi banyaknya pengguna jalan yang lalu lalang membuatnya tidak yakin. Hanya seperti biasa, Harun mendekati siapa saja yang dianggapnya mapan untuk membantu, meskipun tak ada kepastian.
Keberuntungannya hari ini, satu jam berlalu, uang kertas dalam celengan telah mampu sedikit meredam suara gelindingan recehan. Saat ia mulai kelelahan berjibaku dengan ganasnya suasana jalan raya kota, ia memutuskan untuk berhenti dan kembali menunaikan sisa perjalanannya. Meskipun uang yang berhasil dikumpulkan hari ini belum mencukupi untuk membeli sepatu baru, namun ia tetap menaruh harapan keberuntungannya di hari esok.
“Nak,” sapaan lelaki paruhbaya membuat harun menghentikan langkah kakinya. “Kemari sebentar Nak.”
Harun melangkah mendekati lelaki itu, nampak tak ada  perubahan dengan penampilannya dari kemarin, lelaki itu tetap mengenakan jas hitam dan dasi bergaris-garis berwarna biru-putih. Ia hanya merasa aneh dengan raut wajah lelaki itu, menampakkan senyuman, sangat berbeda dengan kemarin yang dia tak sudi berpaling kepadanya.
 “Kenapa om,” tanya Harun dengan penuh penasaran, sambil menyeka ingus dengan punggung tangannya.
“Nak, kemarin kan saya tidak sempat memberikan sesuatu kepadamu. Nah, sekarang ambil ini untuk keperluanmu,” sambil menyerahkan amplop berwarnah putih. “Maaf Nak, cuma ini yang bisa saya berikan.” Setelah mengusap-usap rambut Harun, lelaki itu bergegas manuju mobil sedannya.
Harun masih belum mengerti tentang perilaku lalaki itu, dia terpaku sambil menggenggam amplop putih pemberian itu. “Terima kasih banyak Om,” Seru Harun kepada Lelaki yang mulai menjauh itu.
Dengan banyak tanya di benaknya, ia melanjutkan lagi untuk menggenapkan sisa tapakannya tadi pagi.  Sampai akhirnya di rumah, menemui ibunya yang sedang duduk dan nampak lelah. Seperti hari-hari yang lalu, ibunya baru selesai mencuci pakaian orang lain di rumah yang didatanginya.
“Bu, tadi saya dapat pemberian dari orang di pinggir jalan,”  ucapnya sambil menyodorkan amplop putih
Amplop itu sudah dalam genggaman sang ibu. “Kau ngamen lagi?” tanya dengan nada tinggi.
“Kalau itu bukan hasil mengamen Bu,” balasnya dengan segera.
Setelah membuka perekat, amplop ternyata berisi banyak gepokan uang yang tidak terduga sebelumnya. Masih dengan raut wajah penuh keheranan, sang ibu menemukan secarik kertas berisi pesan bahwa uang tersebut diamanahkan untuk digunakan demi keperluan anak yang menerima pemberian ini, Harun. Namun sejuta misteri belum terpecahkan, sama sekali tidak ada tanda yang bisa mengungkap sang dermawan misterius tersebut.
“Ini diberikan untukmu Nak. Siapa yang memberikanmu? kau tahu siapa dia?” Tanya dengan penuh panasaran.
Harun semakin tidak mengerti. “Aku juga tidak tahu siapa orang itu Bu, tapi dia pasti orang yang sangat kaya. Dia sangat sopan dan menyapaku dengan kata, Nak!

Related posts:

Suara Hati Pusara

Oleh: Fadlin Yunus Halimah dengan muka menunduk, duduk di hamparan tanah seluas 800 meter persegi. Dengan mata sembab ia memegang

SIAL!

Penulis: Jellian (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Remang lampu Kafe tidak lantas membuat perempuan muda itu mengantuk, tugas kuliah yang diberikan

Koridor Lima

Penulis: El “Dek…” Pria dengan jaket parasut hijau berlogo aplikasi transportasi online itu menggoyangkan pelan bahu perempuan di sampingnya, lebih