web analytics
header

Menyelisik Pengaturan Hukum Kasus Penganiayaan Anak

aurey
Sumber: Google.

Makassar, Eksepsi Online – Kasus penganiayaan  yang dialami oleh siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) berinisial A di Pontianak beberapa waktu lalu, sempat menjadi isu nasional yang mengusik kehidupan sosial masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak, kasus ini melibatkan korban dan para pelaku penganiayaan yang masih dikategorikan sebagai anak. Terdapat tiga pelaku yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada kasus ini. Ketiganya masih berstatus siswi Sekolah Menengah Atas (SMA).

Untuk mengetahui aspek hukum pada kasus ini, kru eksepsi menemui Dr. Nur Azizah Dosen Hukum Pidana Anak Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH). Nur Azizah mengatakan bahwa kasus ini merupakan kasus yang meresahkan masyarakat, sebab dilakukan oleh beberapa anak. Menurutnya dalam kajian kriminologi, ini merupakan kejahatan yang meresahkan masyarakat. Sedangkan dalam kajian pidana, kata Nur Azizah, walaupun anak yang melakukan tindak pidana tersebut mereka tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

“Dalam Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang berumur 12 tahun ke atas disidangkan dengan sistem peradilan pidana anak. Jadi meskipun mereka anak, mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ketentuan yang diterapkan dalam kasus ini yaitu ketentuan dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tindak pidana kekerasan anak diatur dalam pasal 80 dan merujuk pada pasal 76C,” jelas Nur Azizah.

Adapun Pasal 76C UU Perlindungan Anak: Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.

Lebih lanjut, Nur Azizah mengatakan bahwa perlunya diperhatikan kategori kekerasan yang terjadi pada kasus ini, apakah kekerasan tersebut menimbulkan luka atau tidak. Penafsiran tentang luka berat diatur dalam pasal 90 (KUHP). “Luka berat adalah jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian. Kehilangan salah satu panca indera, mendapat cacat berat, menderita sakit lumpuh. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan,” tambahnya.

Terkait ancaman sanksi, dosen hukum pidana anak ini menjelaskan mengenai aturan khusus yang harus diterapkan pada kasus ini, berlaku ketentuan Lex Specialis Derogate Legi Generalis, baik untuk hukum acaranya maupun ketentuan pidananya. Mengenai sanksi, Nur Azizah menjelaskan bahwa kasus ini merujuk pada pengaturan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Terdapat dua jenis sanksi yang diatur didalam UU Sistem Peradilan Anak yaitu sanksi tindakan dan sanksi pidana dengan prinsip sanksi pidana sebagai bentuk upaya terakhir. “Dalam peraturan ini, juga diatur anak yang  belum berumur 14 tahun hanya dapat dikenai sanksi tindakan. Sedangkan untuk anak yang telah berumur 14-18 tahun dapat dikenai sanksi tindakan atau pidana. Jadi hakim perlu dengan bijak mempertimbangkan sanksi apa yang akan dijatuhkan berdasarkan pertimbangan tertentu seperti umur dan jenis kejahatan,” lanjut Nur Azizah. Sedangkan, jika berdasarkan ketentuan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kata Nur Azizah, ancaman pidana tindak pidana kekerasan anak diatur dalam pasal 80 dan merujuk pada pasal 76C.  Adapun Pasal 76C : Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.

Dengan Pasal 80 : (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72 juta. (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta. (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 3 M.

Munculnya kasus ini dipermukaan menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat Indonesia. Maraknya penggunaan hastag pada postingan terkait kasus ini di media sosial, menjadi upaya masyarakat untuk menuntut keadilan pada kasus ini. Bahkan banyaknya kabar simpang siur terkait kasus ini menjadi dorongan masyarakat untuk lebih menyoroti kasus ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan pribadi korban dan para tersangka turut menjadi sorotan publik melalui sosial media bahkan pada pemberitaan.

Mengenai hal ini Nur Azizah mengatakan bahwa, seharusnya publik juga mengerti terkait peraturan perlindungan bagi anak sebagai korban dan pelaku dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Kata Nur Azizah, tuntutan masyarakat pada umumnya tentu mengecam tindakan tersebut dan ingin pelaku dituntut dengan hukuman yang berat, namun jangan lupa bahwa UU Sistem Peradilan Pidana Anak  mengandung aspek  perlidungan bagi anak baik sebagai pelaku kejahatan maupun sebagai korban. “Maka dari itu harus ada perimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan korban. Hakim harus pintar melihat situasi ini,” tambahnya.

Dalam UU Sistem Peradilan Pidana juga diatur mengenai kerahasiaan identitas. Seharusnya media sosial dan media elektronik tidak boleh menyebarkan foto-foto pelaku maupun korban karena itu akan membawa dampak psikologis, lanjut Nur Azizah. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak juga dibuat mekanisme yang sedemikian rupa, sehingga anak baik sebagai pelaku maupun korban tidak terkontaminasi secara psikologis.

“Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, saksi anak bisa memberikan keterangan tanpa kehadiran terdakwa. Ia juga bisa memberikan keterangan secara elektronik. Jangankan perkara anak, perkara dewasa juga identitas pelaku dan korban harus diburamkan. Meskipun anak mau mukanya disebarkan, mungkin anak itu tidak tau apa dampaknya. Itukan diluar dari penalarannya. Mereka tidak tau akibatnya nanti,” jelas Nur Azizah.

Nur Azizah juga menambahkan bahwa perlindungan anak dapat juga melalui restitusi. Perlindungan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Korban Tindak Pidana.

Terakhir, Nur Azizah berharap agar aparat penegak hukum pada kasus ini bertindak sesuai aturan hukum dan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak baik sebagai pelaku dan korban. “Hukum itu harus ada keseimbangan antara kepentingan anak dan masyarakat. Semoga aparat penegak hukum bertindak sesuai dengan aturan karena aturan itu telah dibuat sedemikian kondusif,” harapnya. (Nhr)

Related posts: