Oleh: Ainil Ma’sura
Siang yang cukup panas, kembali Indra membuka laptop mencoba melanjutkan tulisan yang semalam belum sempat terselesaikan. Pikirannya yang kacau membuatnya kehilangan semangat hingga akhirnya memutuskan merebahkan tubuh kurusnya ke kasur lipat kesayangannya. Di ruangan berukuran 2×2 meter inilah Indra kerapkali berkeluh kesah sendiri pada dinding dan atap-atap kamarnya.
Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh di masyarakat. Jari-jarinya mulai bergerak-gerak mengetik. Ia mencoba untuk menyelesaikan sebuah tulisannya tentang pelaksanaan prinsip otonomi daerah. Tulisan singkat ini harusnya ia selesaikan dalam waktu dua hari. Namun kacaunya pikiran membuatnya harus selalu menunda penyelesaian tulisan itu.
Akhir-akhir ini pikirannya selalu dikacaukan oleh seorang wanita muda, cantik dan anggun, adik angkatannya di Fakultas Hukum Unhas bernama Dilah. Dilah yang juga mencintainya, beberapa minggu lagi akan segera menyelesaikan studinya sementara dirinya masih saja berkutat pada kesibukan kuliah dan organisasinya. Lebih kacaunya lagi ia harus menerima kabar mengejutkan dari wanita pujaannya itu bahwa sebentar lagi akan menempuh hidup baru dengan seorang polisi pilihan ibunya. Ah… benar-benar kacau pikirannya.
Sesekali ia melirik handphone Samsung yang ia beli bersama Dilah di SABAR JAYA HANDPHONE, sebuah toko handphone di Jalan Rappocini. Ia berharap ada sebuah pesan singkat dari Dilah, setidaknya untuk mengobati kerinduannya, menghilangkan kekacauan pikirannya walau sejenak.
Dan benar, sebuah pesan singkat dari Dilah “Aslm.. jangan lupa makan yah, kak!”. Seketika ia terperanjat kaget bercampur bahagia. Dilah masih memikirkannya. Ia merasa seperti menemukan kembali semangat hidupnya. Pikirannya mulai stabil. “Balas tidak balas tidak”, gumamnya sembari berpikir kata-kata apa yang bagus untuk membalas pesan Dilah.
“Iya dek, qt juga.. bagaimana kabarnya?” begitulah Indra mencoba membalas pesan Dilah. Lima menit, sepuluh menit, hingga tiga puluh menit berlalu tak ada balasan dari Dilah. Seperti kebingungan lagi, Indra memandangi handphone-nya sesekali membuka inbox dan kesekian kalinya berharap ada balasan dari Dilah.
***
“Indra, ada undanganmu bro di sekret kutaro nah!,” teriak Irfan dari lantai dua. “undangan ap…,” belum sempat ia bertanya, Irfan sudah menghilang. Mungkin Irfan sengaja menghilang cepat, tidak maulah ia melihat hati kawannya itu semakin terluka. Nyatanya undangan itu adalah undangan pernikahan Dilah. Di luar dugaan, keluarga Dilah memilih mempercepat pernikahannya.
Begitu hancur dan kacau perasaan Indra, setelah membaca undangan pernikahan Dilah. Dilah yang dua hari lalu masih sempat mengiriminya pesan singkat ternyata seminggu lagi harus ia relakan. Untuk menenangkan dirinya Indra memilih untuk menelepon Irfan. “Bro, temanika dulu ngopi belah.. saya tungguko nah di Warkop Dottoro,” ucap Indra. “Oh, oke oke bro.. meluncurma kesana sekarang!,” balas Irfan seakan mengerti apa yang dialami kawannya itu. Kedekatan Indra dan Dilah memang sedikit banyak diketahui oleh Irfan. Betapa tidak Irfan lah kawan yang mengenalkannya kala itu dengan Dilah.
Sekitar tiga jam menghabiskan waktu di warkop, barulah rasa lelah menghampiri keduanya. Indra dan Irfan sepakat untuk beranjak dari sana. Jam menunjukkan pukul 19.22 WITA, suasana warkop juga semakin ramai sehingga kurang nyaman bercerita tentang hal-hal pribadi.
***
Malam ini, Indra kembali merebah gelisah di atas kasur lipatnya. Rasanya ia ingin segera melupakan Dilah. “Wah.. anak gadis memang susah dimengerti,” Indra kembali memulai keluh kesahnya pada dinding dan atap kamarnya. Bercerita betapa beratnya ia harus mengikhlaskan Dilah menikah dengan pilihan orangtuanya. Indra menemukan jawaban malam itu, Dilah bukan wanita yang tepat untuknya, Dilah tidak memilihnya, dan Dilah juga menyukai polisi itu. “Saya harus ikhlas,” tekadnya kuat dalam hati.
***
Indra mengambil sebuah keputusan yang mantap. Ia mengikhlaskan segala yang terjadi dalam hidupnya. Malam kembali hening, di dalam kamarnya ia kembali membuka laptop. Jari jemarinya kembali menari di atas keyboard. Semangatnya kembali membuncah, pikirannya terbuka dan ia siap melanjutkan tulisan.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib memberikan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. “Yes! Selesai sudah,” soraknya sendiri. Ia berhasil menyelesaikan tulisannya tentang otonomi daerah sekaligus lepas dari bayang-bayang Dilah.