Ramli
(Pengurus LPMH-UH Periode 2014-2015)
Danu memberanikan diri berbincang dengan wanita tua berpostur kurus dan ramping itu. Wanita yang sering nongol di rumah pembuangan Danu. Ya, Danu tinggal di panti asuhan sejak umurnya masih sehari. Sampai berumur 13 tahun saat ini, Danu hidup bersuka-cita dengan anak-anak lain yang lahir tanpa direlakan. Danu penasaran saja. Belakangan, Ibu Lisa datang tiga kali seminggu membawa bingkisan khusus untuknya. Sebelumnya, Ibu Lisa hanya bersua sekali seminggu, bahkan sebulan sekali. Bahkan ia menawari, jika pun Danu menganggukkan, Ibu lisa akan membawa mereka sepanti jalan-jalan keliling kota di akhir bulan.
“Ibu kok baik sekali, selalu bawa makanan ke sini? Memang di rumah Ibu tidak ada yang doyan makanan enak? Tanya Danu kepada Ibu Lisa di bangku taman panti. Danu memberanikan diri bertanya dengan setumpuk penasaran, sejak menyadari perhatian lebih kepadanya. Keramahan Ibu lisa membuatnya merasa memiliki Ibu kandung sesungguhnya.
“Ibu cuma tinggal sendiri di rumah,” tangkasnya.
“Mamangnya Ibu tidak punya suami? Tua begini saja Ibu masih cantik, apalagi semasih muda,” tanya Danu penasaran.
“Ibu pernah punya suami kok. Anak juga ada. Tapi keadaan membuat kami bercerai berai. Mungkin anak Ibu seusiamu saat ini. Terus terang saya merindukan mereka,” kenangnya sambil mengusap-usap perlahan rambut Danu yang keriting seperti rambutnya.
“Mereka pasti rugi, tidak merasakan kasih sayang Ibu. Aku saja yang bukan siapa-siapa Ibu, bermimpi jika saja ibuku ada seperti Ibu,” balasnya. “Tapi Ibu bisa panggil aku Nak, jika saya Ibu tidak keberatan,” candanya.
Ibu Lisa sontak balik menatapnya dalam. Dua pasang mata sipit saling menatap diam. Danu merasa begitu teduh dengan tatapan hangat itu. Layaknya angin menerpa sepoi saat penat. “Danu, anakku… Panggil saja Ibu bunda,” pintanya lalu mengecup dahi Danu. Danu sadar Ibu Lisa mungkin terlalu rindu dengan anak semata wayangnya. Apalagi 20 Agustus tepat hari ini, adalah tepat tangggal kelahiran anaknya. Danu membiarkannya bernostalgia, meski ia turut terharu melihat Ibu Lisa menitihkan air mata.
Inilah awalnya ada sosok yang bisa Danu sapa bunda. Dia merasa takkan canggung karena Ibu Lisa sendiri yang meminta. Danu hanya meresa aneh karena hanya Dia yang diberi hak menyapanya begitu. Yang ia dengar selama ini, saudara sepantinya hanya menyapa Ibu, seperti biasa. Tapi ia tak mau ambil pusing. Lagian itu juga tak merisaukannya.
“Jika saja dia benar-benar Bunda yang melahirkanku…,” hayal Danu dalam batinnya.
***
Sekitar 13 tahun lalu, cikal bakal lahirnya Danu bermula di pojok kota metropolitan. Ia dikandung rahim seorang ibu, Lisa, yang menikah dengan pekerja bangunan, Muin. Waktu itu, ia belum mengerti bagaimana warna kehidupannya kelak. Saat mengerti fungsi uang, bisa saja ia merasa hidup berkecukupan seperti ibunya, atau hanya bercita-cita menyambung hidup hari demi hari seperti Muin.
Entah apa alasan Lisa sudi menikah dengan Muin, pemuda pendatang dari desa, berbadan kekar dengan kulit sawo matang. Dia bahkan tak tamat sekolah menengah pertama. Kesehariannya hanya berurusan dengan campuran konstruksi bangunan. Banyak yang heran melihat ketidaklogisan itu. Mungkin untuk pria bertubuh atletis karena fitness, pastilah dikecualikan dari ketidakmungkinan memikat wanita secantik Lisa, karena dianggap elit dan flamboyan. Jauh beda dengan Muin yang kekar tapi kumal. Tapi jika perawatan, sepertinya paras Arabian Muin tampak tampan juga. Ah, buntunya, mungkin cintalah jawabannya hingga Lisa sudi mengusap keringat Muin setiap kali pulang ke rumah.
Lisa memang terlihat menarik bagi lelaki. Tapi entah kenapa ia rela meninggalkan kekasih yang bernasib kebalikan dengan Muin. Ya, Muin dulunya hanya penonton kala Lisa dan kekasihnya, Rehan, si pemuda kaya, lalu lalang dengan mobil mewah di balik tembok rumah yang disusun Muin. Itu terjadi sejak Lisa kelas tiga SMA. Namun ketika Lisa menginjak semester II kuliah, ia mulai menyadari wanita berparas chinese itu jalan sendirian di lorong tanpa pengeran. Muin bisanya hanya mencuri pandangan, bertapa, berharap Lisa mengerti arti kekakuan ia memandanginya. Meski menyimpan rasa begitu dalam, ia tetap meredam amarah saat teman sekerjanya menyiuli Lisa. Ia sadar tak punya hak melarang atau menutup kesempatan bagi orang lain mendapatkan hatinya.
Kali ini, tepat tiga hari setelah Lisa sendirian melalui gang sempit pemukiman padat menuju rumahnya. Mereka mulai berani saling melempar senyuman tanpa penjelasan makna. Hingga sampai di kejenuhan kebisuan dan penasaran memuncak, Muin tergerak mencari nomor telepon Lisa di toko seberang tempat kerjanya, tempat Lisa biasanya membeli pulsa. Keesokan harinya Muin mengirimkan pesan singkat untuk Lisa. Tiga hari setelahnya, tak pernah terbayangkan Muin, Lisa membalas pesan.
“Hai, aku Muin, pemuda pengaduk campuran yang malu memandangimu lewat di lorong sempit. Salam kenal…” pesan singkat Muin kepada lisa.
“Salam kenal juga Muin,” balas Lisa.
“Bolehkah aku mengantarmu sesekali melewati lorong. Aku takut terjadi apa-apa denganmu. Terus terang, setiap kau lewat di hadapanku, tepat di pintu gerbang, Aku mulai mencemaskan keselamatanmu sampai kau mengunci pintu kamarmu,” tawar Muin.
“Kau boleh mengantarku setiap hari dan bolos di jam kerjamu. Aku juga khawatir jika saja adukan campuran yang diulur tali ke lantai lima, jatuh dan menimpa kepalamu. Aku selalu menilai kau berbeda dengan lelaki lain. Aku lihat kau lelaki baik,” balas Lisa.
Sejak perkenalan itulah, hubungan keduanya semakin dekat. Hingga berselang sebulan setelah saling berbalas pesan singkat, Lisa meminta Muin menikahinya. Ibunya memaksa. Ibunya segan meninggal sebelum Lisa menemukan pendamping hidup. Sudah dua tahun ibunya mengidap stroke yang menyebabkan sebagian tubuhnya hanya bisa diseret. Sekitar tiga kali terserang stroke pun mewanti-wanti kapan saja dia bisa meninggal mendadak. Terlebih lisa dibesarkannya seorang diri oleh sang ibu setelah bercerai. Suaminya menikah lagi diam-diam. Lisa pun tak keberatan dengan permintaaan itu. Ia malahan berulang kali meminta Muin untuk segera menikahinya.
Satu keuntungan bagi Lisa, Ibunya tak neko-neko tentang kriteria pasangan hidup. Tak perlu orang yang berada katanya. Suami yang baik adalah soleh. Muin masuk kategori itu. Untuk bekal hidup, harta ibunya dikemanakan juga kalau bukan untuk lisa dan keluarga kecilnya nanti. Jadinya, tak perlu waktu lama menentukan tanggal pernikahan. Apalagi orang tua Lisa juga tidak meyakini adanya hari baik atau buruk untuk pernikahan. Bagi mereka semua hari sama. Akhirnya, mereka jadi menikah seminggu setelah permintaan ibunya itu. Sekitar satu setengah bulan setelah Lisa tak lagi diantar mobil oleh mantan pangerannya.
Mereka akhirnya serumah di kediaman ibu Lisa. Seiring hari berganti, Muin semakin sering melihat Lisa bolak-balik ke kamar mandi. Lisa kadang tiba-tiba mual. Itu bahkan mulai terjadi sekitar lima minggu sebelum mereka menikah. Muin pernah diminta Lisa untuk mengantarnya ke dokter. Namun ketika ditanyai Muin tentang penyakit yang diidapnya, dia hanya menggeleng dan melempar senyum. Belakangan, Muin mengetahui Lisa hamil di usia pernikahan mereka yang masih sangat muda. Dia hanya bersyukur segera dikaruniai anak dari isteri tercintanya.
Menjelang kelahiran bayinya, Lisa seringkali mencari perkara yang membuat hubungannya dengan Muin memanas. Kadang hanya persoalan aliran air macet, Lisa melemparkan sumpah serapah kepada Muin. Bahkan jika emosinya memuncak, dia sering mengungkit latar belakang Muin yang hanya mengandalkan otot dalam mencari penghasilan. Muin biasanya memilih diam menunggu makian Lisa habis tercurah. Meski dia bingung sendiri, setahunya, di desa, isteri yang sedang hamil sangat menanti kehadiran suami di sampingnya. Jauh berbeda dengan Lisa yang marah tanpa alasan dan terkadang meminta Muin untuk menceraikannya.
Waktu berjalan, terhitung sudah tujuh bulan mereka menikah. Ketentraman semakin terusik seiring usia kehamilan mendekati kelahiran. Sampai akhirnya, Lisa bersikeras berangkat ke pasar dokter spesialis kandungan, namun akhirnya tak kunjung kembali ke rumah hingga larut malam. Ia meningggalkan Muin entah ke mana. Lisa menghilang. Hari-hari selanjutnya dihabiskan Muin untuk mencarinya, namun tak kunjung ditemukan. Ia hanya hanya berharap isterinya taka apa-apa, lalu kembali bersama sang bayi setelah ia bosan membenci.
***
Tepat 20 Agustus tahun itu, sebuah bayi laki-laki ditemukan pengurus panti tergeletak di teras panti. Entah siapa yang meletakkan bayi malang itu. Tak ada satupun saksi mata yang melihat pelakunya. Hanya ada selembar kertas menyertainya. Tertulis titipan nama untuknya, Danu Abdi Arfan.
Setelah 13 tahun berlalu, anak itu tumbuh di panti bersama anak-anak malang lainnya. Sampai saat datang seorang Ibu yang tampak kaya dan jelas dermawan. Ia mulai datang dan memperhatikan Danu sejak berumur 5 tahun. Dia biasanya berkunjung sekali dalam seminggu. Namun belakangan ia berkunjung tiga kali seminggu.
Entah apa istimewanya Danu dengan anak-anak lainnya. Namun ibu itu terlihat jelas lebih memperhatikan Danu dibanding anak panti lain. Keadaan itu terkadang menimbulkan kecemburuan saudara panti Danu kepadanya. Satu hal yang jelas istimewa, jika anak panti lain hanya memanggilnya dengan kata Ibu, hanya Danu yang dimintanya untuk menyapa dengan kata Bunda.
“Bunda kok sepertinya memberikan perhatian lebih kepadaku. Aku rasa ini tidak adil bagi teman-temanku yang lain,” tanya Danu setelah dia khusus diberi sebuah baju dengan siluet Ibu dan anak.
“Itu karena Kau adalah anakku, dan Aku adalah bundamu,” balasnya.
Saat umur 13 tahun, Danu akhirnya diadopsi wanita berusia kepala tiga itu, Lisa. Mereka hidup berdua di sebuah rumah mewah di tengah kota. Kesannya sangat berbeda dengan kehidupan di panti. Meski begitu, Danu terbiasa nyaman hidup sederhana. Ia tidak pernah meminta hal yang aneh-aneh, meskipun ia tahu tak akan sekalipun Lisa menolak permintaannya. Mereka layaknya hidup sebagai seorang ibu dan anak saat itu.
***
Beranjak waktu hingga umur Danu 16 tahun. Ia yang masa kecilnya hanya anak panti, kini menjadi seorang siswa semester akhir di sekolah negeri favorit. Meski begitu, selalu timbul rasa penasaran di benaknya mengenai siapakah sebenarnya kedua orang tua kandungnya. Banyak momen penting dilaluinya tanpa kehadiran mereka. Kali ini, ia tak ingin penamatan sekolah terlewati tanpa sosok ibu dan ayah kandungnya. Ia masih yakin kedua orang tuannya masih hidup. Sering ia bertanya ke Ibu Lisa maupun ke pengurus panti, namun tak ada yang bisa memberikan tanda dari mana asalnya.
“Danu, cepat ke rumah sakit. Bunda lagi di rawat di sini. Sakit jantungnya kambuh lagi,” tutur Ani, sang pembantu tua, di ujung telepon.
Seketika juga Danu bergegas menuju rumah sakit, meski harus membolos dua mata pelajaran. Sesampainya di rumah sakit, ia hanya melihat ibunya berbaring lemas. Sorot matanya sayup, seakan tak berdaya tersingkap. Helaan nafasnya tersengal-sengal. Namun keadaannya lambat laun normal seiring Danu menanangkan di sampingnya.
“Maafkan Bunda Nak…,” serunya sambil menghela nafas dalam-dalam.
“Minta maaf untuk apa? Selama ini kurasa tak sedikitpun Bunda melakukan kesalahan kepadaku. Bahkan dosa besar dan angkuh aku jika menerima maaf Bunda. Aku seharusnya berterima kasih untuk kembaikan yang Bunda berikan selama ini,” balas Danu dengan nada tenang.
“Entahlah. Aku hanya takut kau tak menyapaku lagi dengan panggilan bunda jika Aku jujur tentang semua ini.”
“Katakan saja jika ada yang ingin Bunda katakan.”
Selang dalam keheningan waktu berlalu, Lisa hanya menatap langit-langit kamar. “Kau adalah anak kandungku. Maafkan aku telah menelantarkanmu di masa kanak-kanak. Semua karena keogoisan dan kesalahanku. Aku pendosa. Aku harap kau masih sudi menyapaku bunda. Maafkan Aku, Nak…”
Danu tak bisa berucap. Bibirnya kaku. Rasa cinta, kasih, sedih, kecewa, dan marah melandanya bercampur aduk. Suasana berubah drastis setelah ia tahu ternyata sosok ibu kandung yang ia rindukan, adalah yang tega meletakkan dan meninggalkannya di teras panti 16 tahun silam, Bunda Lisa.
“Jika kau ingin tahu ayahmu yang sesungguhnya, pergilah, temui dia di Samping Hotel Luarna. Carilah rumah lantai 3 di sana. Nama Pak Arfan,” tutur Lisa.
Segera juga Danu menuju ke alamat yang diterangkan Lisa. Sesampainya di rumah yang dituju, dia mendapati pagar rumah terkunci rapat.
“Ada Bapak Arfan Pak?” Tanya Danu kepada seorang tetangga Pak Arfan.
“Cari Pak Arfan, si pengusaha Cina? Dia memang pemilik awal rumah ini. Tapi sudah Dia dijual ke orang lain. Dia bangkrut. Hidupnya tak karuan. Saya setahuku, dia masih disel sekarang. Di Rutan Kalong. Ia dipenjara 20 tahun setelah membunuh secara sadis suami mantan pacarnya, seorang pekerja bangunan, sekitar 16 tahun lalu,” jawab lelaki tua itu.
Danu tambah bingung. Masih banyak cerita yang harus ia telusuri. Ia pun beranjak menuju alamat rutan itu. Sesampainya ia di depan ruang sel yang dituju, tampak sosok dengan garis wajah yang nampak jauh dari keceriaan.
“Pak, Ibu sedang sakit parah di rumah sakit,” seru Danu.
“Kamu, siapa? Kamu Danu Abdi Arfan?” balasnya dengan tanya.
“Bapak tahu?” tanya Danu kembali.
Bapak Arfan spontan memeluk Danu di balik jeruji sembari terisak tangis. Ia yakin Danu adalah anak hasil hubungan terlarangnya dengan Lisa. “Maafkan aku Nak. Akulah yang menitip nama itu untukmu kelak kau lahir, Nak. Aku dan ibumu saling mencintai. Hanya saja kami tidak mendapat restu dari orang tuaku,” jawabnya sambil terisak tangis. “Titip salam untuk Ibumu.”
***
Lisa masih menyimpan rahasia masa lalunya. Di waktu silam, hubungannya dengan Arfan terlanjur jauh. Ia hamil di luar nikah. Alasan strata sosial dan harga diri keluarga membuat hubungan mereka tidak direstui orang tua Arfan menuju jenjang pernikahan. Ia juga masih menyimpan rasa bersalah yang mendalam kepada Muin, sosok lelaki tulus yang dinikahinya hanya untuk menutupi aib kehamilannya di mata ibunya. Meninggalkan Muin adalah caranya berhenti mendosa. Ia tak tega Muin terbebani tanggung jawab untuk perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.