Makassar, Eksepsi Online (23/11) — Menanggapi polemik Pembinaan Mahasiswa Hukum Tahap Dua terkait keluhan sejumlah peserta atas penilaian yang dianggap tidak transparan (baca berita selengkapnya melalui tautan berikut: https://eksepsionline.com/2024/11/22/dinilai-tidak-transparan-pembinaan-mahasiswa-hukum-tahap-2-dikeluhkan-peserta )
Muh. Noer Arrijalu selaku Ketua Angkatan Amnestie saat diwawancarai oleh Reporter Eksepsi di Sekret LPMH pada Rabu (20/11) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan PMH-II kali ini, poin etika menjadi salah satu penilaian tertinggi, sehingga peserta yang melanggar etika, seperti menggunakan bahasa yang tidak pantas, dapat dinyatakan tidak lulus meskipun awalnya dinyatakan lulus.
Ia menerangkan mengenai pembagian nilai dan aturan kegiatan, termasuk tugas memahami hukum yang bernilai 20 poin dan absensi 20 poin, sehingga total 40 poin bisa diraih peserta, kemudian 20 poin untuk tugas, 20 poin untuk pengakraban, dan 60 poin untuk tugas Legal Opinion.
Dalam penilaian etika, setiap peserta diberikan 60 poin awal yang dapat berkurang jika terjadi pelanggaran, seperti hanya menampakkan bahu saat on-cam yang dikenai pengurangan 5 poin. Pelanggaran yang lebih berat, terutama yang merugikan orang lain, juga akan berpengaruh pada nilai. Ia menegaskan bahwa sikap peserta saat berbicara dengan pendamping menjadi perhatian penting, dan penilaian etika akan di-cross-check dengan pendamping untuk memastikan sikap sopan.
“Di PMH-II ini kita poin etika yang paling tinggi, setelah keluar SKL pertama ada bukti bahwa akan ada update SKL baik itu dari lulus ke tidak lulus, maupun tidak lulus ke lulus, gitu,” terang Arrijalu.
Meskipun telah diberikan peringatan, pada hari kedua kegiatan masih ada beberapa peserta yang melakukan pelanggaran, termasuk menggunakan kata-kata kasar. Bahkan, Arrijalu mengaku bahwa ada salah seorang peserta melontarkan kata kasar yang ditujukan pada dirinya.
“Saya tau ji orangnya, kesalahannya itu, dia bilangi ka Arjal kanda**. Karena ketua angkatan representasi angkatan, kalau dibilangi ketua angkatan berarti dibilangi angkatannya. Itu penilaian etika yang paling berat, kita menjunjung tinggi etika kalau di hari-h,” tuturnya.
“Ada beberapa orang yang masih melanggar di forum, bilang ki s****** t*****. Sudah itu, sebelum pulang mau dikasih tau bilang begini mi penilaiannya, kalau ada teman-teman yang mau protes bilang mi saja. Ditahan ki memang tapi ditahan untuk kasih tau,” tambah Arrijalu.
Namun, hal ini dinilai tidak transparan oleh Lemon (nama samaran) yang menuntut nilai para peserta untuk dijelaskan dengan runut.
“Menurut panitia, nilai sikap saya diubah menjadi nol karena adanya kesepakatan angkatan untuk menjunjung nilai etika. Namun, kesepakatan ini tidak pernah tertulis atau diinformasikan kepada peserta. Nilai akumulatif juga tidak dijelaskan secara rinci,” tutur Lemon.
Lemon kemudian mengaku bahwa temannya, sebut saja Melon diminta untuk membuat tugas tambahan. Tugas tersebut awalnya dijadwalkan untuk dikumpulkan di lokasi yang ditentukan panitia. Namun Melon kemudian diminta mengantarkan laporan tersebut ke lokasi berbeda pada pukul 12 malam, yang dianggap memberatkan dan tidak sesuai dengan arahan awal.
“Salah satu teman saya diminta membuat tugas tambahan berupa laporan empat halaman. Awalnya, tugas itu harus dikumpulkan di Antang, tetapi kemudian diminta diantarkan ke Sudiang pada pukul 12 malam,” ungkapnya.
Hal itu kemudian dibantah oleh Arrijalu yang menyatakan bahwa dia dengan jelas menyebut satu lokasi yang sudah ditentukan.
“Saya bilang begini, di kelompok nah, saya nda bilang ke Antang, tapi bilang ka di Sudiang ka nah jam 10, sama-sama ko kesini sebentar jam 11 kirim shareloc ka. Karena begini, sebelum saya kasih tugas saya bilang ke dia sama-sama kumpul dan bersamaan ke tempat kumpul, tanya ma kalau sudah mi, dia bilang 1 orang lagi kak, saya kasih mi longgar, okee saya kasih mi shareloc di Sudiang,” terangnya.
Menurutnya, tugas tambahan tersebut juga merupakan kompensasi yang diminta oleh Melon sendiri untuk melulusi kegiatan PMH-II.
Sementara itu, aktivitas seperti “Game ular-ular” dijelaskan sebagai upaya untuk menciptakan suasana menyenangkan, terutama bagi kelompok yang dianggap sulit diatur. Keputusan ini diambil dengan harapan peserta dapat lebih kooperatif.
Adapun dugaan mengenai perpeloncoan dan pemukulan, panitia menyatakan bahwa tidak ada pemukulan yang dilakukan. Beberapa tindakan, seperti memukul tembok dan memberi instruksi dengan nada tegas, dilakukan sebagai bentuk gertakan untuk mendisiplinkan peserta.
“Hanya gertakan ji. Saya jamin nda ada pemukulan.”
Sistem penilaian dalam PMH dirancang untuk menentukan apakah peserta lulus atau tidak, bukan berdasarkan nilai numerik. Hal ini dilakukan untuk mempercepat proses Surat Keterangan Lulus (SKL) agar tidak terlalu lama, seperti yang dialami pada PMH-I. Meskipun penilaian di PMH-I lebih konkret, proses yang panjang berdampak pada PMH berikutnya.
“Padahal kalau anggap sengaja memang lulus tidak lulus, bukan nilai. Kenapa bisa? untuk percepat SKL, kasian PMH-III kalau lama sekali. Kayak PMH-I, bukan saya salahkan PMH-I nah, PMH-I itu oke penilaiannya memang konkrit tapi lama sekali keluar, itu kasihan untuk PMH selanjutnya. … terkait Forum Pertanggungjawaban itu.. apadi’ kita open ji. Baik itu teman-teman yang mau datang atau lewat chat, bilang oh nanti kak saya begini begini,” jelasnya.
Selain itu, Arrijalu menerangkan meskipun ada keluhan tentang penurunan nilai atau pengurangan poin, keputusan tersebut biasanya dipertimbangkan berdasarkan dampaknya terhadap teman-teman lain dan lingkungan sekitar. (Tod)