Resensi “Di Udara – Efek Rumah Kaca”
Oleh: Juwa
Di Udara yang dirilis oleh Efek Rumah Kaca bukan sekadar lagu, namun juga bentuk pernyataan politik dan kemanusiaan. Lagu ini ditulis dalam momentum mengenang Munir Said Thalib, seorang aktivis hak asasi manusia (HAM) yang menjadi korban pembunuhan pada tahun 2004. Munir “disingkirkan” dengan racun arsenik di dalam pesawat menuju Amsterdam. Tragedi yang hingga kini masih menyisakan tanda tanya besar mengenai dalang di balik kematiannya.
“Aku bisa diracun di udara, aku bisa terbunuh di trotoar jalan, tapi aku tak pernah mati, tak akan berhenti” menjadi refleksi atas kondisi para pejuang HAM di Indonesia, di mana sebagai seorang aktivis mereka sering kali menghadapi tantangan berupa menjadi korban kekerasan, teror, hingga pembunuhan. Namun sayangnya tidak semudah itu menenggelamkan nilai yang mereka bawa, sebab mereka akan tetap hidup dan bergaung. Lagu ini menggambarkan bagaimana suara akan semakin sulit dibungkam, bahkan jika kekuasaan menempuh berbagai cara keji seperti tekanan, intimidasi, hingga ancaman yang mempertaruhkan nyawa. Upaya untuk membungkam satu suara justru akan melahirkan ribuan lainnya. Kursi kekuasaan mungkin dapat membunuh Munir, tetapi tidak pernah bisa mematikan gagasannya. Duka yang ia wariskan atas ketidakadilan HAM akhirnya lahir dengan nama September Hitam.
September Hitam dan lagu “Di Udara” tentunya memiliki relevansi “September Hitam” tidak hanya mengingatkan pada tragedi G30S 1965, tetapi juga pada rentetan pelanggaran HAM yang terus berulang di Indonesia. Dari pembunuhan massal pasca-1965, tragedi Semanggi dan Trisakti, hingga kekerasan di Papua dan penghilangan paksa aktivis reformasi, semuanya memperlihatkan wajah impunitas yang masih terjaga hingga kini.
Lagu ini menegaskan bahwa keadilan di Indonesia masih bersifat selektif. Banyak kasus pelanggaran HAM berat yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas, dan negara sering kali memilih untuk lupa. Dalam situasi di mana hukum sering berpihak pada kekuasaan, karya seperti “Di Udara” menjadi ruang alternatif untuk menjaga ingatan kolektif.
“Di Udara” bukan hanya sekedar lagu peringatan, melainkan juga pengingat bagi bangsa yang masih berjuang melawan kata lupa. Ia mengajak pendengarnya untuk tidak menyerah pada rezim pelanggar HAM, dan terus menuntut kebenaran, seperti payung hitam yang masih berdiri tegak pada tiap kamis di hadapan istana negara, yang mirisnya di dalam sana duduk dengan apik terduga pelanggar HAM. Namun pada kenyataan suram tersebut, kita juga masih harus meyakini bahwa perjuangan menegakkan hak asasi manusia masih tidak boleh berhenti, meskipun nyawa adalah hal terakhir yang dapat diambil.